gajah-merdeka
  • Page Views 392

Liputan Khusus Gajah Aceh; Dulu Kita Pernah Akrab

PAGI masih berselimut kabut ketika Arjuna bersama empat rekannya melangkah gagah menyusuri jalan setapak di tengah hutan Gle Geumue, Mane, Pidie. Dalam usia 29 tahun, ia tumbuh menjadi sosok yang besar. Tingginya lebih dua meter. Jika menatapnya harus mendongakkan kepala.

Tong Liyang, berusia 30 tahun, berlanggak-lenggok menyusul Arjuna, disusul Andi, Retno, dan Bakri. Tiga nama terakhir ini masing-masing berumur 25, 28, dan 18 tahun.

Di tengah jalan, beberapa kali Tong Liyang berhenti saat mendengar deru sepeda motor milik para peladang yang melintas di belakangnya. “Dia agak trauma dengan suara sepeda motor,” kata Boy, lelaki muda yang duduk di atas punggung Tong Liyang.

Yang dituju adalah sebuah sungai yang jaraknya sekitar satu kilometer dari tempat asal mereka. Saban hari, Arjuna dan empat temannya mengawali pagi dengan mandi di sungai. Sebelum berangkat, tak lupa mereka sarapan, menyantap beberapa butir nenas, pisang, dan daun kelapa.

Arjuna dan empat rekannya adalah gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) penghuni Conservation Response Unit (CRU) Mane, sebuah kamp pemeliharaan gajah di belantara Geumue, Kecamatan Mane, Pidie. Masing-masing mereka didampingi pawang yang disebut mahout.

Pagi itu, dalam perjalanan menuju sungai, kami duduk di atas  punggung Arjuna dan kawan-kawan, tepatnya di belakang pawang.

Tiba di tepi sungai, rombongan berhenti. “Mandi..mandi,” seru para pawang kepada masing-masing gajah yang dikawalnya. Tak perlu disuruh berulang kali, satu per satu gajah turun ke sungai yang airnya jernih kehijauan.

Mandi di sungai berarti saatnya bercengkerama. Arjuna dan Andi saling adu gading di dalam air. Sementara Retno menenggelamkan seluruh tubuhnya. Ketika bangkit, ia memutar-mutar belalainya, lalu menyemprotkan air sambil mengeluarkan suara seperti bunyi terompet.

Lebih setengah jam mereka mandi. Ketika para mahout menyuruh keluar dari air, mereka seperti enggan menyudahinya. Setelah beberapa kali para pawang berteriak, ”Naik, naik, cukup, cukup,” barulah mereka beranjak.

“Gajah memang menyukai air. Kalau dibiarkan, bisa berjam-jam mereka mandi,” kata Boy.

Usai mandi, ritual lain menanti. Kelima gajah itu berdiri sejajar membentuk barisan di tepi sungai. Kini waktunya memeriksa mulut dan membersihkan telapak kaki. Pertama-tama adalah memeriksa kondisi mulut. Agar bisa melihat mulutnya, belalai gajah harus diangkat. Para pawang pun memberi aba-aba, “Hormat, hormat.”

Mendapat perintah, serentak kelima gajah itu mengangkat belalainya melewati dahi, persis seperti sedang memberi penghormatan. Dengan posisi begitu, para pawang bebas memeriksa mulut gajah.

Tak menemukan hal yang janggal, pemeriksaan berlanjut ke telapak kaki. “Angkat kaki kanan depan,” seru Amrizal, mahout yang mendapat tugas mengurus Arjuna. Seruan yang sama juga diteriakkan empat pawang lain. Dalam sekejap, kaki kanan depan kelima gajah itu terangkat ke atas, persis anak sekolah yang sedang belajar baris-berbaris.

 

Di tepi sungai kecil, rombongan berhenti untuk minum. Sungai yang dituju masih beberapa meter di seberang sungai kecil itu. Pagi itu, angin berkesiur, membawa dingin yang menusuk tulang, kadang berembus keras, menampar-nampar dedaunan. 

 

Karena Retno kurang tinggi mengangkat kakinya, Mahyuddin Yunus, pawang yang mengurusinya kembali berteriak, ”Lebih tinggi, lebih tinggi,” Retno menurut. Kakinya diangkat lebih tinggi. Mahyudin lalu dengan leluasa memeriksa telapak kaki Retno. Menggunakan gancu, ia mencongkel kerikil dan duri yang tersangkut di telapak kaki gajah betina itu.

Usai satu kaki, giliran kaki lain diperiksa. Setiap mendapat aba-aba, gajah-gajah itu patuh. Jika ada yang ogah-ogahan, para pawang langsung memberi hukuman. Sebuah pukulan ringan dengan kayu kecil mendarat di kaki Retno gara-gara kurang tinggi mengangkat kaki kiri belakang.

“Pukulan itu untuk memberi efek jera. Lain kali dia akan lebih patuh agar tidak kena pukul,” kata Mahyudin sambil membersihkan kaki Retno.

Setengah jam kemudian, pemeriksaan selesai. Kini saatnya meneruskan perjalanan, menambatkan gajah-gajah di tengah hutan. “Mereka perlu dibawa keluar dari kamp, ke lokasi yang mirip habitatnya di alam liar,” kata Boy, lelaki yang punya nama asli Saifuddin. Komandan mahout di CRU Mane ini sehari-hari mengurus Tong Liyang, gajah yang namanya ditabalkan oleh orang Thailand.

Ketika hendak berangkat, Tong Liyang menekuk kaki kanannya, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. Di kaki itulah Boy berpijak, sebelum melentingkan badannya ke atas, lalu mendarat di ujung leher Tong Liyang.

Saya yang sebelumnya duduk di punggung Tong Liyang bersama Boy, kini berganti tunggangan: duduk di punggung Arjuna.  Amrizal yang sudah lebih duduk di belakang lehernya memberi aba-aba untuk duduk. Mendapat perintah, Arjuna menekukkan keempat kakinya, merendahkan tubuhnya hingga menyentuh tanah. Saya pun leluasa naik ke punggungnya. Kini saatnya mencari tempat untuk menambatkan, lalu membiarkan gajah-gajah itu merumput di dalam hutan. Iring-iringan gajah itu bak pasukan tempur menuju medan perang.

***

Kami tiba di CRU Mane menjelang sore sehari sebelumnya, Jumat 22 November 2013. Letaknya di atas perbukitan Gle Geumue, Kecamatan Mane, Pidie. Sore itu, dua sepeda motor milik tukang ojek yang kami tumpangi dari pusat Kecamatan Geumpang, meraung-raung ketika merangkak mendaki perbukitan Gle Geumue. Kampung terakhir bernama Lutueng, baru saja kami tinggalkan. Kian ke atas, medannya semakin sulit. Jalanan meliuk-liuk mengikuti pinggiran bukit.

Di sisi kiri, nun jauh di bawah, terhampar areal persawahan dan perumahan penduduk yang terlihat seukuran mobil sedan. Untunglah, tukang ojek yang membawa kami dengan lihai meliuk-liukkan ban sepeda motor, menghindari batu-batu besar yang berserakan di jalanan selebar tiga meter. Terpeleset sedikit saja, alamat merosot ke bawah.

Di beberapa titik, di kiri kanan jalan berdiri pohon-pohon besar nan menjulang. Setidaknya ada lima pohon yang besarnya tak dapat dipeluk enam orang dewasa jika berdiri dalam posisi melingkar. Beberapa kali, ketika sepeda motor mulai terengah-engah, kami turun dan mendorongnya.

Hampir satu jam berjibaku di medan seperti itu, kami tiba di dataran yang lebih rata meski di beberapa titik jalanan naik turun. Tak berapa lama, melewati sebuah tikungan, kami tiba di tempat yang dituju.

CRU Mane adalah satu dari empat kamp serupa di seluruh Aceh. Tiga lokasi lainnya berada di Sampoiniet (Aceh Jaya), Trumon (Aceh Selatan), dan Cot Girek di pedalaman Aceh Utara.

Berada di ketinggian 800 meter di atas permukaan laut, CRU Mane menempati areal seluas 1 hektare. Di dalamnya ada beberapa unit bangunan kecil berbentuk panggung berdinding tripleks. Ada ruang administrasi, tempat tidur para mahout, sebuah musala kecil, juga balai-balai yang dilengkapi televisi tempat para mahout membuang jenuh usai mengurus gajah-gajah.

Dua hari di sini, kami menempati salah satu kamar yang tampaknya disiapkan untuk tamu yang datang. Samar-samar terdengar deru air sungai nan deras yang mengalir di bawah, tepat di belakang kamp. Aroma khas rumput hutan terasa menyegarkan.

Pada malam hari, tak ada aktivitas berarti. Para mahout menjaga gajah-gajah yang diikat di pohon, beratapkan langit, berteman cahaya bulan dan gemintang. Suara jangkrik terasa menggelitik gendang telinga.

Berada di gugusan bukit barisan di pedalaman Pidie, Mane diapit Tangse di utara dan Geumpang di sisi selatan. Kawasan ini sudah lama dikenal sebagai salah satu habitat gajah di Aceh.

“Di luar kompleks Leuser, jumlah gajah terbesar di Aceh ditemukan di wilayah antara Lamno dan Sigli, dan antara Lamno dan Tangse. Dari daerah ini umumnya kawanan besar melintasi setiap tahun hingga ke “gunung emas” di hutan yang terletak di kiri jalan raya dari Kutaraja ke Sigli,” tulis Clarence Ray Carpenter, peneliti dari The American Committee for International Wild Life Protection dalam laporannya yang diterbitkan tahun 1938. Carpenter datang melakukan survei tentang kehidupan alam liar di Aceh era penjajahan Belanda.

 

Tujuh puluh lima tahun setelah kedatangan Carpenter, kawasan perbukitan di Tangse dan Geumpang masih menjadi tempat habitat gajah. Namun, kondisi mamalia besar yang dilindungi undang-undang itu kian kritis. Mereka kerap terlibat konflik dengan masyarakat.

 

Ketika itu, di jalur Tangse-Geumpang, militer Belanda memakai gajah untuk kendaraan angkutan barang. Penulis Belanda H.C. Zentgraaff dalam bukunya berjudul Atjeh –yang menjadi rujukan para sejarawan — memajang dua foto tentara Belanda bersama gajah. Salah satunya memperlihatkan gajah melintasi sungai sambil membawa barang, sementara di atas, pada sebuah jembatan gantung, berdiri sejumlah tentara Belanda.

Para pegiat lingkungan meyakini itu terjadi lantaran hutan tempat tinggal gajah telah beralih fungsi. Lembaga swadaya masyarakat Flora dan Fauna Indonesia (FFI) Aceh mencatat, sejak 2006 hingga 2010 saja, 40 hektare hutan yang semula habitat gajah, kini berubah menjadi perkebunan, areal pertambangan, bahkan pemukiman penduduk. Konflik pun tak terelakkan. Dari 16 kabupaten kota yang rawan konflik, ketegangan sering muncul di Geumpang, Bireuen, Aceh Timur, dan Aceh Jaya.

Itulah sebabnya, sejak 2009, dengan pendanaan dari World Bank, FFI menginisiasi mendirikan CRU Mane. Tujuannya, menghalau gajah liar jika sewaktu-waktu turun ke perkampungan. “Gajah hanya bisa dihalau dengan gajah,” kata Syafrizaldi, Program Manager FFI Aceh kepada Alfiansyah Oxcie dari The Atjeh.

Untuk program ini, FFI bekerja sama dengan Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, lembaga pemerintah daerah yang bertanggung jawab menyelamatkan satwa liar yang dilindungi. Empat ekor gajah jinak beserta pawangnya didatangkan dari Pusat Konservasi Gajah di Saree, Aceh Besar. Masing-masing pawang mengurus satu gajah. Dua pemuda setempat direkrut sebagai asisten.

Tak lama setelah didirikan, seekor gajah liar usia remaja berhasil ditangkap ketika turun ke pemukiman penduduk di sekitar Glee Geumue. Setahun dijinakkan di Saree, gajah yang kini berusia 18 tahun itu dikembalikan ke CRU Mane. Ia diberi nama Bakri. Bakri pun bergabung dengan empat gajah jinak lain. Beberapa kali Bakri terlibat menghalau gajah liar.

“Terakhir, awal Oktober lalu, kami menghalau gajah liar yang turun ke perkampungan di Turucut, beberapa kilometer dari sini,” kata Boy, pimpinan pawang gajah di CRU Mane, saat kami duduk di atas punggung gajah.

Sayangnya, upaya mereka sejak bulan Juli itu tak berjalan sesuai rencana. Boy dan timnya berniat menggiring kawanan gajah itu ke Blang Raweu, daerah berupa padang savana nan luas di perbukitan Geumpang. Namun, langkah mereka terhenti di Alue Baro, padahal sudah lima hari berturut-turut mereka menerobos hutan, mengikuti jejak gajah liar. Bunyi petasan yang biasanya ampuh menghalau gajah liar, tak banyak berguna. Penyebabnya, tak jauh dari hadapan mereka terbentang areal pertambangan emas yang dikelola secara bebas oleh masyarakat.

Mulai beroperasi sejak 2008, areal pertambangan itu kini dipadati ribuan manusia yang mengeruk tanah untuk mencari bebatuan yang diduga mengandung emas. Aktivitas itu membuat para penambang menebang hutan, lalu mendirikan tenda-tenda di sana. Seorang penambang yang saya temui di pusat kecamatan Geumpang sebelum naik ke Glee Gumue, bercerita bahwa aktivitas pertambangan berlangsung siang malam.

Sebelum dihuni para penambang itu, hutan ini adalah salah satu jalur lintas gajah. Ini sudah sejak lama dan memang menyatu dengan alam. Maka itu, aktivitas penambangan emas seperti menjadi tembok penghalang. “Lima kali kami menghalau gajah liar pada malam hari, selalu gagal karena gajah tidak bisa melewati areal pertambangan,” kata Boy. “Di kiri tambang perkampungan. Di kanannya tebing gunung. Satu-satunya jalan melewati tambang emas.”

Akibatnya, tak lama setelah dihalau, kawanan gajah liar kembali turun ke kampung lain, tak jauh dari Turucut. Kawanan gajah ini pula yang diperkirakan menginjak seorang warga Desa Bengkeh, Geumpang, pada waktu  hampir bersamaan dengan upaya pengusiran.

Upaya negosiasi bukannya tak ada. Tim BKSDA pernah meminta areal pertambangan dikosongkan beberapa hari untuk memudahkan menghalau kawanan gajah yang diperkirakan berjumlah 13 ekor. Para pejabat kecamatan sudah sepakat. Namun, imbauan itu hanya berhasil menahan para penambang selama satu jam. Selebihnya, aktivitas pertambangan kembali berlanjut.

“Bahkan ada penambang emas yang mengeluarkan kata-kata yang tak enak didengar dan meminta kami berhenti mengurus gajah liar,” kata Boy yang sudah delapan tahun menjadi pawang gajah.

Mendengar itu, Boy hanya bisa mengurut dada, lalu kembali  membawa gajah-gajah binaan mereka ke kamp CRU Mane.  Padahal, kawanan gajah liar masih berkeliaran di sekitar areal pertambangan. Itu sebabnya, Boy berharap, segera ada jalan keluar agar gajah dan manusia sama-sama hidup tenang.

Konflik gajah dan manusia tak hanya terjadi di Mane. Kasus serupa juga terjadi di Sampoiniet, Aceh Jaya. Sebenarnya, di sana sudah ada CRU Sampoiniet yang aktif mengusir gajah-gajah liar yang turun ke perkampungan. Namun, sejak dua bulan lalu kamp gajah jinak ditutup setelah warga setempat membunuh seekor gajah jantan dewasa. (Lihat: Kisah Tragis Papa Genk)

Pada 2012, tercatat 14 gajah meregang nyawa di seluruh Aceh. Sebagian besar dibunuh dan diracun. Tahun 2013, lima gajah menemui ajal. Dua di antaranya ditemukan tergeletak dengan mulut berbusa lantaran diracun di lahan perkebunan sawit di Aceh Timur.

Tingginya kematian gajah membuat populasinya merosot tajam. Di Aceh, kini diperkirakan hanya tersisa tak lebih dari 400 gajah yang tersebar di 16 kabupaten/kota. Itu sebabnya, pada awal 2012, Lembaga Konservasi Dunia (IUCN) menaikkan status gajah dari “terancam punah” menjadi “sangat terancam punah.” Di seluruh Sumatera, populasinya diperkirakan tidak lebih dari 2.400 – 2.800 ekor. Pada 2007, diperkirakan Gajah Sumatera masih ada 3.000 – 5.000 ekor.

Padahal, hanya ada dua benua di muka bumi ini yang dihuni gajah: Asia dan Afrika. Seperti saudaranya di Asia, gajah Afrika juga terancam punah lantaran perburuan untuk diambil gadingnya dan dijual dengan harga tinggi.

***

SAYA masih di atas punggung Arjuna ketika iring-iringan gajah membelah hutan, menyusuri jalan setapak yang bertabur lumpur di beberapa titik. Kini di hadapan kami membentang anak sungai dangkal yang airnya mengalir jernih. Arjuna dan kawan-kawan melintasi sungai seperti berjalan di atas tanah.

Saya membayangkan, betapa indah seandainya bisa menunggangi gajah di tengah kota, tak perlu menerobos hutan belantara.

Duduk di punggung Arjuna, saya terkenang Sultan Iskandar Thani, penerus Sultan Iskandar Muda yang saban hari menunggangi gajah kesayangannya bernama Lela Manikam. Setidaknya, begitulah yang disaksikan Peter Mundy, utusan Raja Inggris yang berlabuh di Aceh pada April 1637. Ketika Mundy datang, Iskandar Thani baru enam bulan naik tahta. Perjalanan Mundy dituangkan dalam buku The Travels of Peter Mundy in England, Western India, Achen, Macao and the Canton Province, 1634-1637.

Saat upacara kurban pada hari raya Idul Adha, Mundy menyaksikan langsung Iskandar Thani duduk di atas punggung gajah dalam perjalanan dari istana Daruddunia menuju Masjid Baiturrahman. Para pengawal mengapit gajah kerajaan.

Dari catatan Mundy kita tahu, kepala Lela Manikam dihiasi mahkota yang disebut Naga Beraksa. Seluruh tubuhnya berselubung pakaian mewah. Lela dikendalikan seorang pawang yang dijuluki Haria Diraja.

Kebanggaan Iskandar Thani terhadap gajah juga dituangkan dalam suratnya yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal Belanda di Batavia pada 1640.  “Iskandar Thani menggambarkan dirinya sebagai seorang raja yang memiliki gajah putih, gajah dengan empat taring, kemerahan dan gajah beraneka ragam dan beberapa gajah lain yang tidak dapat diidentifikasi, serta ratusan gajah perang,” tulis Ito Takeshi, peneliti Jepang dalam disertasinya bertajuk The World of the Adat Aceh: A Historical Study of the Sultanate of Aceh.

Iskandar Thani tak sesumbar. Setidaknya, begitulah pengakuan Nicolaus de Graff, orang Belanda yang bekerja pada VOC. Graff menyaksikan sendiri gajah-gajah itu saat menghadiri pemakaman Iskandar Thani pada Februari 1641.

“Upacara pemakaman Raja yang wafat dipersiapkan dan pemakaman itu berlangsung dengan kemewahan kerajaan. Selain serombongan besar pangeran, bangsawan, dan orang kaya, ada 260 ekor gajah  yang didandani dengan sutera, kain emas, dan sulaman. Gading mereka juga dihiasi dengan emas dan perak. Di atas punggung mereka ada menara-menara persegi kecil yang digantungi sejumlah besar bendera yang juga disulam dengan perak dan emas,” kata de Graff dalam buku Reysen van Nicolaus de Graaff naar de vieer gedeeltens des Werelds yang terbit tahun 1704.

Jauh sebelumnya, pada abad ke-13, para pengelana masyhur seperti Marcopolo, Ibnu Battuta, telah mencatat dengan detail bagaimana gajah ditempatkan pada posisi terhormat di Kerajaan Pasai dan Perlak, sekarang Aceh Utara dan Aceh Timur.

Ketika tiba di Samudera Pasai tahun 1345, Ibnu Battuta mencatat, selain ditunggangi raja, ada 300 gajah yang dilatih untuk pasukan perang. Meski disiapkan untuk pasukan tempur, gajah-gajah itu tetap dihias emas dan permata. Ibnu juga menggarisbawahi, menurut adat, jika sultan mengendarai gajah, para pembantunya menunggang kuda.

Kemesraan Aceh dengan gajah berlanjut pada era Iskandar Muda. Syahdan, ketika berusia 5 tahun, sultan yang membawa Aceh pada puncak kegemilangannya itu, telah bersahabat dengan anak gajah bernama Indra Jaya. Mengutip Hikayat Aceh, sejarawan Anthony Reid dalam bukunya Elephant and Water in The Feasting of Seventeenth Century Aceh menulis, ”Beranjak dewasa sultan muda itu berlatih menunggang gajah setiap Senin dan Kamis.”

Ketika naik tahta, rasa cinta Iskandar Muda kepada gajah kian membuncah. Utusan Raja Prancis, Laksamana Agustin de Beaulieu, yang datang ke Aceh pada 1620 mencatat, Iskandar Muda memiliki 900 tentara gajah terlatih. Selain untuk berperang, gajah juga dipakai dalam upacara-upacara adat dan menyambut tamu-tamu kerajaan. Gajah-gajah itu di bawah tanggung jawab seorang pejabat kerajaan yang menyandang jabatan ‘Panglima Gajah’.

Untuk membiasakan gajah dengan suasana perang, para pelatih melepaskan tembakan-tembakan di dekat telinga gajah. Agar tidak takut api, jerami yang telah dibakar dan diikat di ujung tombak panjang, lalu dikibas-kibaskan di dekat gajah. Mereka juga diajarkan membuat “sembah”, penghormatan di depan kediaman raja dengan bertekuk lutut dan mengangkat belalai tiga kali. Apabila gajah-gajah berlalu di jalanan, orang-orang harus minggir, memberi jalan untuk gajah lewat.

“Kekuatan negara itu bertumpu pada gajah-gajahnya,” tulis John Davis, juru mudi Inggris yang bekerja di kapal Belanda saat tiba di Aceh tahun 1599. “Ada banyak gajah dengan perawakan besar di sejumlah tempat, sepertinya untuk pertahanan mereka,” tambah Sir James Lancaster, utusan yang membawa surat Ratu Elizabeth dari Inggris ketika berada di Aceh pada Juni hingga November 1602.

Riwayat keagungan gajah di Aceh tercatat bertahan hingga awal abad ke-20. Seiring berlalunya era kerajaan, perlakuan terhadap gajah berubah beringas. Gajah yang dulunya pernah menjadi sahabat sekaligus pelindung dari serbuan musuh, kini dianggap musuh yang harus dibasmi.

Di era penjajahan, Pemerintah Hindia Belanda membuat aturan untuk melindungi gajah lewat undang-undang Ordonansi Peraturan Perlindungan Binatang Liar. Ironisnya, di lapangan, tentara Belanda justru menembaki gajah. Mereka juga memperbudak gajah untuk mengangkut logistik militer.

Ketika Carpenter, peneliti dari The American Committee for International Wild Life Protection menginjakkan kaki di Aceh  pada 1937, undang-undang perlindungan gajah sudah tujuh tahun diberlakukan.

Namun, di lapangan, pembunuhan gajah terus berlangsung. Dari sejumlah tentara Belanda, Carpenter mendapat cerita mereka kerap diminta mengusir gajah yang turun ke perkampungan. Di Lamno, sekelompok tentara Belanda membunuh 13 gajah dalam 11 bulan.

Di pantai barat, di sekitar tanah rawa pada kilometer 330 dari  Banda Aceh menuju Tapak Tuan, penduduk setempat meminta pos militer Blangpidie melindungi ladang mereka dari gajah yang disebut sering turun kampung dan menghancurkan sawah-sawah mereka. “Para prajurit merespons permintaan mengontrol gajah dengan menembak,” tulis Carpenter.

Cerita penembakan gajah juga muncul dalam buku De Atjeh Oorlog yang ditulis wartawan Belanda Paul van ‘t Veer. Terbit tahun 1969, buku itu mencuplik secuil kisah tentang seorang sersan yang dilumpuhkan gajah gara-gara mencoba menembaknya. Lokasinya tak jauh dari Seulimum, Aceh Besar, ketika serombongan infanteri Belanda dalam perjalanan menuju Sigli. Van Didden, sersan itu, nekat berburu gajah di sekitar bivak peristirahatan.

Yang terjadi kemudian sungguh mencengangkan. Sang gajah membelit  Sersan Van Didden dengan belalainya, lalu membantingnya ke pohon hingga tulangnya remuk. Van Didden memang tidak mati, tapi seumur hidupnya ia tak bisa lagi berkarier di militer.

“Di sekitar Seulimum, jauh di hulu Sungai Aceh, memang sering muncul gajah. Tiang-tiang telegraf dari besi sering bengkok-bengkok seperti kawat, bila hewan-hewan itu menabraknya dalam gelap,” tulis Paul.

Carpenter merekomendasikan perlunya penanganan cerdas untuk mencegah konflik berlanjut. Dia menawarkan dua opsi: membentuk lokasi suaka pemeliharaan gajah, atau memindahkan penduduk dari lokasi kantong-kantong gajah sebagai alternatifnya.

Tujuh puluh lima tahun setelah Carpenter membuat rekomendasi itu, atau 68 tahun setelah Indonesia berdiri, nasib gajah di Aceh tak juga berubah, bahkan lebih buruk. Ironisnya, gajah kini hanya dihargai sebagai simbol. Namanya melekat pada nama kampung, atau dijadikan logo instansi pemerintah dan perusahaan  swasta. Sedikitnya ada 27 tempat di Aceh –tersebar di 12 kabupaten– yang  melakapkan kata ‘gajah’ pada nama desa dan kecamatan.

Di Aceh Utara, misalnya, ada Kecamatan Meurah Mulia. Artinya, gajah yang mulia. Masih di kecamatan itu, ada desa bernama Jungka Gajah yang berarti wajah gajah.

Adapun instansi yang memakai logo kepala gajah putih di antaranya; Kodam Iskandar Muda, Lafarge Semen Andalas, dan Pupuk Iskandar Muda.  Di Aceh Tengah, ada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Gajah Putih.

Di sisi lain, sebagian besar warga Aceh masih menyebut gajah dengan sebutan kehormatan: Po Meurah. Secara harfiah: Meurah bermakna raja. Sebutan ini biasa disematkan pada keluarga raja-raja seumpama Meurah Silu, salah satu raja yang pernah memimpin Samudera Pasai. Sebutan lainnya: Teungku Rayek. Artinya, tuan besar.

Tragisnya, aneka bentuk penghormatan itu bisa disebut hanya lips service semata. Nyatanya, untuk sekadar membiarkan gajah numpang lewat ke habitatnya saja, warga tak sudi bekerja sama.

Sampai kapan konflik gajah dan manusia berlanjut? Kepala BKSDA Aceh, Amon Zamora, tak punya jawaban pasti. Salah satu solusinya, kata Zamora, memperbaharui koridor gajah sepanjang 3.200 kilometer yang melintasi 16 kabupaten/kota di Aceh. Namun, itu baru berupa usulan yang pengerjaannya tergantung persetujuan pemerintah pusat.

Konsepnya, gajah-gajah dibiarkan hidup di koridor itu. Lahan yang dibutuhkan minimal lebarnya 50 meter. Di sepanjang koridor itu ditanami tanaman kesukaan gajah seperti pisang dan tumbuhan lain. “Ini juga bisa menjadi solusi untuk gajah di Mane yang terperangkap di kawasan areal pertambangan,” kata Zamora.

Jika ide ini disetujui, kata Amon, koridor gajah bisa dijadikan objek wisata yang dapat menarik wisatawan. Dalam benak Amon, para wisatawan dapat diantar menuju koridor dengan menunggangi gajah binaan. “Jika koridor ini terbentuk, itulah tanaman hutan raya di Aceh, dan bisa menjadi pemasukan bagi pemerintah daerah.” Konsep ini sebetulnya jauh lebih baik ketimbang merusak alam hanya untuk mengorek emas.

Dalam jangka panjang, Amon setuju disiapkan kawasan suaka gajah di Aceh, tempat gajah-gajah liar dibiarkan hidup bebas dan jauh dari pemukiman. Syarizaldi dari FFI Aceh setuju dengan kawasan suaka ini. Untuk jalur Tangse – Geumpang, ia bahkan sudah punya usulan lokasi. “Blang Raweu itu cocok untuk kawasan suaka gajah.”

Solusi lain: Syafrizaldi menyarankan perbatasan koridor gajah ditanami tanaman yang tidak disukai gajah, seperti kopi, jeruk nipis, atau kakao. Dengan begitu, masyarakat juga mendapat uang masuk. Cara semacam itu, kata dia, kini telah diterapkan di salah satu desa di kawasan Konservasi Ulu Masen, di antaranya mencakup Aceh Jaya dan Tange-Geumpang.

“Fungsinya semacam benteng alamiah. Kan tidak mungkin membangun tembok pembatas antara habitat gajah dengan pemukiman warga.”

***

DI belantara Glee Geumue, kami masih menyusuri jalan setapak menuju lokasi penambatan gajah. Jaraknya sekitar dua kilometer dari kamp CRU Mane. Tiba di tempat yang dituju, di tepi jalan setapak, Boy menyuruh Arjuna duduk. Gajah itu menurut. Dalam sekejap ia menekuk keempat kakinya, merendah tubuhnya hingga menyentuh tanah. Hup! Saya melompat turun. Boy tetap di punggung Arjuna, menuntunnya ke lokasi penambatan, beberapa puluh meter dari jalan.

Dari kejauhan saya memandang punggung Arjuna menghilang di rimbunnya pepohonan. Dua hari di CRU Mane, saya seperti menemukan sahabat baru, seperti raja-raja Aceh dulu yang bersahabat dengan gajah.  Nyatanya, jika diperlakukan dengan baik, gajah juga bisa menurut pada manusia.

Menjelang sore, kami turun dari Gle Geumue, meninggalkan Arjuna dan kawan-kawan. Cuaca mendung memaksa kami harus bergegas. Di ujung bukit, menjelang tiba di kampung terakhir, sebuah pertanyaan muncul di kepala, akankah Arjuna dan kawan-kawan masih di sana jika sewaktu-waktu saya merindukan mereka?

Di langit, awan gelap mulai mencurahkan rintik hujan.[]

Artikel ini dimuat majalah The Atjeh edisi Januar 2014

Comments

comments

Share This Article

  • Facebook
  • Google+
  • Twitter

Romantika di Amor; Kisah Pahit Perempuan Kopi Gayo

Next Story »

Bertaruh Nyawa di Tahura Meurah Intan

One Comment

    Leave a comment

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    ads

    Warnet

    hub kami

    Nature

    • Foto: Tempo.co

      Peneliti : Terumbu Karang Sumatera Memutih

      7 days ago

      Koloni terumbu karang genus Acropora di perairan Pulau Sironjong Gadang, pesisir selatan Sumatera Barat, berwarna pucat. Sebagian besar terumbu karang bercabang banyak itu bahkan tampak putih sempurna. ...

      Read More
    • mangkuk-daun

      Bahan Ini Bisa Jadi Pengganti Styrofoam di Masa Depan

      3 weeks ago

      Styrofoam menjadi salah satu bahan yang sering digunakan sebagai pembungkus makanan. Penggunaannya dinilai praktis dan efisien sehingga banyak diminati. Namun, peningkatan penggunaan wadah berbahan styrofoam yang tak ...

      Read More
    • harimau-kamboja-punah

      Harimau Ini Akhirnya Dinyatakan Punah

      3 weeks ago

      Para aktivis konservasi Kamboja, Rabu (6/4/2016), untuk pertama kalinya menyatakan harimau di negeri itu telah punah. Hutan belantara Kamboja pernah menjadi rumah bagi harimau indochina, organisasi konservasi WWF ...

      Read More
    • Ilustrasi mobil nyetir sendiri | (Shutterstock).

      Mobil ‘Nyetir’ Sendiri Lebih Ramah Lingkungan

      3 weeks ago

      Zia Wadud terakhir belajar mengemudi tiga tahu yang lalu, Ia gagal di tes mengemudi pertamanya. Suatu saat ia berpikir, betapa mudahnya jika ia dapat mengendarai mobil setir ...

      Read More