Rusli Bintang | Foto: Dok. Universitas Abulyatama
  • Page Views 10254

Kisah Rusli Bintang Kehilangan Adiknya Gara-gara Tak Punya Uang Seribu (Bagian 1)

Nama Rusli Bintang kini dikenal sebagai pendiri empat kampus di Indonesia: Universitas Abulyatama di Aceh, Malahayati di Lampung, Universitas Batam di Batam, dan Institute Kesehatan Jakarta. Tapi tak banyak yang tahu bagaimana pria asal Aceh Besar itu bangkit dari kemiskinan. Kisah tragis dan memprihatinkan di masa kecil itulah yang kelak membentuk Rusli Bintang menjadi penyantun anak yatim. Tulisan ini dibagi dalam lima bagian terpisah.

***

AREAL persawahan yang sedang menguning mengepung Gampông Lam Asan, Kemukiman Ateuk, Kecamatan Kuta Baro, Kabupaten Aceh Besar. Letaknya hanya terpaut lebih kurang enam kilometer dari Kota Banda Aceh, Ibu Kota Provinsi Aceh yang berada di ujung barat Pulau Sumatera. Embun pagi sudah mengering saat dua wartawan media online kampus abulyatama.ac.id —media Universitas Abulyatama— berkunjung ke kampung ini di pengujung September 2015.

Angin sepoi berembus menggoda nyiur yang melambai-lambai, mengajak penduduk meramaikan hari. Lembayung sutra di ufuk timur menebarkan cahaya lembutnya hingga memantul keemasan meningkahi pucuk-pucuk pohon nan permai ini. Kampung ini masih hijau. Banyak hutannya. Penduduk memiliki kebun yang luas. Di halaman rumahnya banyak aneka tanaman.

Anak-anak berwajah riang menyalami dan mencium tangan ibunya, lalu mengayuh sepeda menuju sekolah. Setiap hari mereka menyusuri jalan yang sama di tengah kampung yang sudah teraspal, kecuali ada beberapa lorong yang masih telanjang tanah dan berbatu. Di jalan-jalan ini warga bersentuhan, saling menyapa, dan menanyakan kabar.

Sarana gampông Lam Asan lumayan lengkap. Di tengah-tengah pemukiman ada musala megah tempat warga beribadah. Di sampingnya ada gedung dua lantai kantor kepala desa. Selain itu, ada balai pengajian tempat anak-anak belajar Alquran setiap sore.

Tak jauh dari sini ada dua warung tempat warga menyesap kopi sambil berdiskusi. Biasanya mereka membahas soal sawah, ternak, dan perkembangan kampungnya. Warga kampung —seperti umumnya warga di Aceh yang berpenduduk 4,5 juta jiwa— gemar berbicara tentang politik. Tak hanya itu, mereka juga suka membahas sepak bola di warung kopi, apalagi di Lam Asan terdapat lapangan sepak bola dan sarana olahraga lainnya seperti badminton. Oh ya, Lam Asan juga memiliki kantor pos. Ini menandakan bahwa warga akrab dengan komunikasi walau sekarang sarana ini sudah kurang populer sebab tergantikan dengan telepon seluler dan jaringan internet.

***

BERJARAK 500 meter dari meunasah, rumah itu berdinding kayu. Halamannya luas dan dikelilingi oleh bermacam tanaman, mulai dari sayuran, bunga, hingga pohon pisang. Di sinilah seorang anak lelaki bernama Rusli Bintang lahir pada Jumat, 28 April 1950.

Berkulit putih bersih, ia adalah putra pertama Bintang Amin yang berprofesi sebagai mantri kesehatan yang beristrikan Halimah, seorang ibu rumah tangga. Pasangan yang hidup sederhana ini tentu sangat bahagia dengan kehadiran si buah hatinya itu.

Setiap hari sebelum berangkat kerja ke Rumah Sakit Umum Banda Aceh, ia selalu menemani putranya. Mengajaknya bercanda dan tertawa riang, atau sekadar memboncengnya dengan sepeda mengelilingi kampung. Halimah merawat kebahagiaan ini dengan tulus. Hingga kemudian, keluarga ini dikaruniai enam putra dan satu putri, yaitu Rusli Bintang, Darmawan Bintang, Marzuki Bintang, Fatimahsyam Bintang, Musa Bintang, Ismail Bintang, dan Zulkarnaini Bintang.

Bintang dan Halimah mengarungi kehidupan yang bahagia di rumah tangganya. Keluarga mereka juga dicintai oleh masyarakat di lingkungannya. Maklum, ia dikenal sebagai mantri yang baik, ramah, juga suka menolong. Ia menanamkan rasa sosial pada anak-anaknya dengan pola hidupnya yang peduli pada sesama itu.

Sebagai mantri kesehatan, Bintang menyadari perannya melayani masyarakat 24 jam. Itulah sebabnya, sepulang kerja ia masih tetap mengayuh sepeda keluar masuk kampung melayani masyarakat yang membutuhkan pertolongannya.

Maklum, mantri kesehatan di perkampungan tentu sangat jarang, bahkan di masa itu dokter pun belum ada. Jadilah Bintang sebagai harapan masyarakat. Tanpa peduli waktu, kadang tengah malam, pun ia tetap keluar rumah jika warga membutuhkannya.

Ureung chik kamoe mantri, jadi dalam Kecamatan Kuta Baro mungkén meunyoe na dua droe yang mantri, salah sidroe ialah gӧbnyan (Orang tua kami mantri, jadi di dalam Kecamatan Kuta Baro kalau ada dua orang mantri, salah satunya beliau),” kata Musa Bintang.

Acapkali, Bintang membonceng Rusli untuk menemaninya membantu orang-orang kampung. “Saya pernah bingung melihat ayah saya sering tak mendapat bayaran apa-apa setelah mengobati orang sakit. Saya pernah menanyakan itu, tapi ia malah menasihati saya agar mengisi hidup dengan rasa sosial dan kebaikan sebab di situlah letak makna kehidupan yang sesungguhnya. Keberadaan kita berguna bagi sesama manusia,” kata Rusli. Bintang juga selalu menasihati Rusli agar jangan melupakan salat lima waktu, berdoa, bersyukur, mencintai keluarga, menyayangi antarsesama, dan bekerja keras.

Namun, Rusli tak bisa mendengar nasihat ayahnya sampai ia dewasa. Allah berkehendak lain. Bintang kembali ke pangkuan Ilahi pada 1969, saat usia Rusli 19 tahun. Ia belum pun menamatkan sekolah lanjutan atasnya, masih duduk di bangku kelas satu SMA. Remaja seusia Rusli tentulah sudah paham akan cinta dan kasih sayang. Ia merasakan pancaran cahaya ketulusan dari orang tua yang tak mengenal lelah berkorban setiap hari demi dirinya dan adik-adiknya.

Setelah Bintang berpulang, kehidupan keluarga ini menjadi pincang. Mereka kehilangan tulang punggung keluarga. Kehilangan satu dari sepasang kasih sayang yang selama ini menebarkan keindahan cinta. Dada Rusli seperti akan meledak saat melihat sinar kebahagiaan yang meredup dari mata ibunya yang tiada henti berlinang. Halimah telah kehilangan belahan jiwa. Ia seorang diri mengayuh biduk kehidupan tujuh anaknya ke masa depan yang terselubung kabut gelap.

Walau Halimah menyembunyikan kegundahan di balik kasih sayangnya, Rusli tetap dapat membaca bahasa kalbu ibunya itu. Ia tak ingin melihat orang yang dikasihinya terus berduka. Rusli sungguh bersedia menyingkirkan beban berat dari pundak Halimah, lalu memikulnya.

Ia bertekad menghalau kabut kegelapan masa depan keluarganya. Entah bagaimana caranya, yang pasti ia tak ingin menjadi beban kerabat-kerabatnya. Pilihan terpahit pun ditempuh. Kepada ibunya, ia memohon izin untuk berhenti sekolah dan bekerja. “Tak mengapa saya berkorban demi ibu dan adik-adik,” katanya.

Halimah menjawab dengan air mata. Jemarinya mengelus kepala putra sulung yang disayanginya itu. Bibirnya bergetar tak dapat mengucapkan kata-kata. Ia memang mengkhawatirkan nasib anak-anaknya yang masih kecil. Ia tak sanggup membayangkan bagaimana putra sulungnya ini mencari nafkah untuk adik-adiknya.

Watèe geutinggai lé ureung chik kamoe, lôn glah 1 MIN, umu lôn 7 thôn, jadi memang gӧbnyan abang kamoe paléng tuha (Ketika ayah kami meninggal, saya masih kelas satu MIN (Madrasah Ibtidaiah Negeri), usia saya 7 tahun, jadi memang ia abang kami yang paling tua),” kata Musa, salah seorang adik Rusli.

Sejak ayahnya meninggal, Rusli pun menanggalkan seragam sekolah. Rusli tidak mungkin menjalani hari-hari masa remajanya, perannya meloncat menjadi seorang pria pemikul tanggung jawab. Setiap hari, Halimah mengantarkan anaknya dengan pandangan sendu seorang ibu yang sesungguhnya tak tega melihat buah hatinya banting tulang. “Nyak (ibu) saya juga menjadi buruh tani, bekerja di sawah-sawah orang lain untuk mencari nafkah keluarga,” kata Marzuki Bintang.

Rusli membagi waktu dalam bekerja, siang mengambil upah memanjat kelapa, sedangkan malam hingga dini hari memanggul pasir di kali. “Kadang-kadang kuli lain heran mengapa punya saya sudah banyak pas mereka datang, padahal saya mengangkutnya malam hari, mereka mengangkutnya pagi,” kata Rusli tersenyum mengenang masa pahit hidupnya itu.

Target kerja keras Rusli adalah membiayai sekolah adik-adiknya serta memenuhi keperluan wajib keluarga, yaitu dua bambu beras setiap hari, lauk-pauk, dan kebutuhan harian lainnya. Kegigihan Rusli juga dikagumi Zakaria Amin. Warga Lam Asan yang sudah berusia 75 tahun ini sangat tahu keadaan Rusli sejak kecil.

“Sipheut Rusli memang gӧt. Jeut peutimang adék-adék, aleuhnyan ramah, ramèe ngӧn watèe ubit, hana batat, tip uroe keurija demi adék-adékjih (Sifat Rusli memang bagus, bisa mengayomi adik-adiknya, ia juga ramah, waktu kecil banyak temannya, tidak nakal, tiap hari dia bekerja demi adik-adiknya),” kata Zakaria, salah seorang warga yang paling tua di kampung Lam Asan ini. Zakaria adalah juga adik kandung Bintang Amin. Ia adalah paman dari Rusli.

Simak bagaimana Rusli Bintang merasa bersalah karena tak mampu memberi uang seribu rupiah untuk adiknya yang berujung pada adiknya meninggal dunia pada tulisan bagian kedua.[]

Catatan:
Tulisan Ini Adalah Penggalan Kisah Dalam Buku “Inspirasi, Spirit & Dedikasi” karya Nurlis E. Meuko dan editor Yuswardi A. Suud.

Comments

comments

Share This Article

  • Facebook
  • Google+
  • Twitter

Lamno yang Tak Terlupakan

Next Story »

Kisah Rusli Bintang Kehilangan Adiknya Gara-gara Tak Punya Uang Seribu (Bagian 2)

One Comment

  1. Nurlis E Meuko
    February 23, 2016

    Ini memang cuplikan kisah yang ada dalam buku berjudul “Inspirasi, Spirit & Dedikasi” yang saya tulis setelah setahun bersama Rusli Bintang… semoga menjadi inspirasi bagi kita semua….

ads

Warnet

hub kami

Nature