pekankebudayaan
  • Page Views 290

Aceh; Membuka Wajah dan Tubuh (Majalah TEMPO 1972)

“TURIS-TURIS boleh datang ke Aceh. Tidak perlu pakai kain sarung atau kopiah. Percayalah, penduduk Aceh tidak sejahat dibayangkan orang untuk memeriksa bagian bawah tubuh para pendatang, apakah mereka ada disunat atau tidak”.

Ucapan bergaya sembrono dari Kepala Perwakilan Pemerintah Daerah Istimewa Aceh di Medan bernama Ibrahim Hadji itu, boleh mewakili keinginan rata-rata pejabat Aceh dewasa ini. Semacam undangan ke pada “dunia luar” memang sudah agak lama diteriakkan.

Pekan Kebudayaan Aceh ke-II misalnya, yang berlangsung selama dua minggu di Banda Aceh sampai awal September kemarin, dibuka dan ditutup oleh Menteri Budiardjo dan Nyonya Tien Soeharto serta dikunjungi banyak tamu-tamu luar daerah, dari satu segi bisa pula dianggap usaha memperkenalkan corak hidup sebenarnya rakyat disana.

Perang & Generasi

Lagi pula para pejabat bukan tak punya alasan untuk menggunakan biaya Rp 50 juta. Pidato panjang tapi bijak dari Gubernur Muzakkir Walad sehubungan dengan pesta tersebut boleh di tolerir di sini untuk mendapat pemberitahuan apa yang menjadi motif.

“Proses akulturasi amat lambat berjalan di daerah Aceh”, itulah yang jelas. “Apa yang baik dari luar sukar merembes ke daerah ini, sedang apa yang indah dari nilai budaya Aceh tiada dapat di hayati dan diresapi orang luar”. Padahal “suatu nilai budaya yang kurang mendapat sentuhan dari luar dan kurang menampakkan wajahnya, akan membeku dan makin lama makin sulit, takut, serta menjadi tabu dijamah orang”.

Tapi benarkah masalahnya sekedar masalah kebudayaan dalam arti tontonan-tontonan kesenian? Sebuah seminar tentang “Faktor Budaya dalam Pembangunan Propinsi Daerah Istimewa Aceh”, diselenggara kan di tengah Pekan Kebudayaan sambil mengisi acara Dies Natalis ke-XI Universitas Syah Kuala, seperti dinyatakan Prof. Dr. A.Madjid Ibrahim Rektor Unsyiah dan Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Aceh (BPPA): harus di hargai sebagai salah-satu cara penting meskipun cukup lumrah “untuk mengira-ngira apakah target-target pembangunan yang hendak dicapai sesuai dengan apa yang dihayati masyarakat sendiri. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang telah mempengaruhi alam fikiran mereka, value system mana yang dapat memberi arti bagi kehidupan dan kepuasan mereka”.

Memang sudah diketahui bahwa wajah Aceh, seperti diucapkan juga dalam Seminar, adalah wajah Islam. Tapi wajah Islam bukanlah satu bila diingat bahwa daerah-daerah lain semacam Sulawesi Selatan atau Jawa Timur misalnya, yang juga dikenal, punya wajah Islam, toh tidak sama dalam warna. Karena itu pengenalan identitas diri sendiri sebagai sekelompok penduduk yang sedang di usahakan membukanya, sepantasnya di lakukan dengan melihat watak yang dipandang menentukan.

Siapakah sebenarnya orang Aceh? Benarkah mereka sekedar sekelompok 2 juta penduduk yang hanya punya “kebudayaan sunat” dan “kebudayaan perang?” Dan salah satu kesimpulan. Seminar lantas bicara tentang de Achehers ini sebagai kelompok rakyat yang berada dalam satu kebudayaan yang, disamping sudah tentu bersifat agraris tradisionil dan dikatakan berwatak ksatria, juga punya kecenderungan seragam, mencari harmoni, bersikap terbuka, dan lamban alias tidak progresif.

Sifat lamban ini tentulah terbayang bisa satu-dua orang tokoh misalnya mengeluh: “Percuma saja pemerintah berusaha membangun irigasi yang baik, bila rakyat toh merasa cukup memetik panen sekali setahun dan bukan dua kali”.

Adapun sifat-sifat lain, setidak-tidaknya bagi orang yang kelewat mempercayai kesenian tradisionil sebagai pelahiran watak asli, konon bisa dilihat dari berbagai tari-tarian tradisionil seperti yang dipertunjukkan dengan lengkap pada PKA ke-II kemarin: umumnya tari-tarian itu menunjukkan sifat-sifat riang, perkasa namun santai, dan terbuka berbeda dengan misalnya tarian tradisionil Jawa yang cenderung kontemplatif dan tertutup, ataupun Bali yang dinamik dan misterius.

Namun, mengapa orang Aceh dikenal dari jauh sebagai sekumpulan orang fanatik dan liat? Sehingga Badan Perencana Pembangunan Aceh (BPPA) yang lebih dikenal sebagai Aceh Development Board atau ADB pada waktu membuat perencanaan Repelita II untuk Propinsi membuat kesimpulan bahwa: “masyarakat Aceh adalah masyarakat yang hidup dalam kebudayaan terisolir”? Semua pejahat dan intelektuil di sana, dengan sadar maupun sambil menghafal menyebutkan aiasan yang, satu: iklim perang terus-menerus selama dua generasi.

Ethos Perang & Royan Revolusi

Dan semua orang tahu hal itu. Pada masa kejayaan Sultan, Aceh-dikenal sebagai negeri mercusuar ilmu. Perguruan-perguruan tinggi dan dayah-dayah yakni pesantren-pesantren luhur merupakan sentra keilmuan yang relevan dengan tuntutan masa itu, dan memberi aspirasi kemajuan rakyat sehingga kebesaran Aceh menandingi kekuatan Portugis dan Belanda: Lantas sejarah perang berlangsunglah: sejak, kedatangan Belanda pada 27 Maret 1873, sampai harus dibilang saat penyerahan Kedaulatan di pertengahan abad ke-20. Setelah beberapa saat aman, negeri itu lantas dirambah kembali oleh Perang Cumbok (ulee balang yakni kaum feodal lawan kaum tengku alias ulama).

Ditingkah oleh pemberontakan yang pecah pada September 1953 yakni setelah negeri itu, yang pada 1950 sudah merupakan satu propinsi, beberapa saat kemudian dirobah statusnya menjadi karesidenan dan digabung dengan Sumatera Utara. Kemudian datanglah tahun 1957, ketika Aceh kembali mendapat status propinsi, dan setahun setelah itu tanda-tanda keamanan mulai tampak meyakinkan. Maka, jika dihitung-hitung sejak zaman sejarah lama sampai kini, mengalami masa aman selama kira-kira 20 tahun. Dan apa yang tinggal setelah itu?

Selesai kecamuk perang yang paling akhir diperhitungkan bahwa penduduk Aceh hanya tinggal tidak sampai satu juta. Inilah masa yang paling tragis. Janda-janda dan anak-anak yatim terkurung dalam kehidupan sosial dan ekonomi- yang nestapa. Rel kereta-api terputas-putus, jalan-jalan bukarr saja hancur tapi nyaris hilang. Kawat-kawat telepon disentakan dari tiang-tiangnya dan bersamaan dengan ramainya penyelundupan, dijual ke Malaya. Dalam keadaan begitu penduduk terkurung dalam kantong-kantong dan mobilitas ekonomi merupakan impian mustahil. Akibat permainan bumi hangus dari semua fihak, stasiun-stasiun diberangus dan sekolah-sekolah dibakar.

Maka Aceh yang di zaman dahulu terang benderang liwat perguruan-perguruannya, dan yang di masa-masa akhir penjajahan Belanda hanya punya satu sekolah Mulo di Kutaraja (dengan lebih kurang 10 siswa pribumi), sekarang tinggal puing. Lebih dari itu pengalaman menghadapi penjajah dahulu rupanya telah mewariskan satu ethos yang, seperti dinyatakan A. Hasymi bekas Gubernur dan Ketua Majlis Ulama, berujud ide perang sabil.

Menurut kesimpulan Madjid Ibrahim, rasa sakit masa lampau itulah yang mewariskan sifat mental yang sangat erat hubungannya dengan setiap langkah perobahan. Yakni sikap yang selalu curiga – bukan saja terhadap Belanda tapi juga terhadap segala yang berbau asing, dan pembawaan yang tidak fleksibel yang dinyatakan bukan merupakan “bakat asli”.

Disamping ADB

Tapi royan revolusi, cepat atau lambat harus surut kemasa lampau. Jika bedil sudah disimpan (meminjam ungkapan Chairil Anwar) meskipun asap masih berkepul, mulailah usaha merubah iklim. Panglima Komando Daerah Militer Aceh Letkol (sekarang Brigjen P) Syammaun Gaharu bersama Pemerintah daerah dibawah Gubernur A.Hasymi (d/h Hasjmy), melahirkan satu urgensi kerja dikenal sebagai Tri Karya Bhakti yang antara lain menuntut pemberian otonomi yang luas.

Sehingga, setidak-tidaknya sebagai satu upaya psikologis, menyebabkan pemberian status Daerah Istimewa untuk Aceh oleh Pemerintah Pusat pada 1959. Usaha pemantapan keamanan di lanjutkan sampai kira-kira sepuluh tahun kemudian, ketika Badan Pembina Rumpun Iskandar Muda (Baperis) dibentuk di bawah Panglima Brigjen (sekarang Mayjen) Tengku Hamzah Bendahara, sebagai upaya, memantapkan persenyawaan seluruh warga serumpun antara yang dari semula anggota TNI dengan yang di hari kemarin aktif mengangkat senjata di gunung-gunung.

Dalam pada itu Pekan Kebudayaan Aceh I, yang tidak sebesar dan selengkap PKA II yang baru lalu, dilangsungkan pada 1958. Setidak-tidaknya dari satu segi PKA ini dinyatakan berada “dalam rangka pemulihan keamanan setelah peristiwa pemberontakan DI/TIl”, seperti dikatakan Hasymi. Lepas itu dilaksanakanlah Musyawarah Besar Kerukunan Rakyat Aceh 1962 yang melahirkan Piagam Blang Padang, yang dinyatakan membawa iklim sosial yang lumayan.

Tak pula bisa dilepaskan dari usaha psikologis untuk menurut-sertakan aspirasi yang dalam dari rakyat Aceh adalah dibentuknya Majlis Ulama pada Desember 1965, setelah Musyawarah Alim Ulama se-Propinsi dengan pengesahan Panglima Ishak Djuarsa menyerahkan pembentukannya kepada Pemerintah Daerah. Majlis ini, yang boleh dibilang bertugas menaksir kemajuan kerohanian rakyat disamping merupakan pembimbing formil mereka, seolah satu jembatan antara pemerintah dan penduduk. A.Hasymi, Wakil Ketua MU, menyebut salah-satu fungsi Majlis ini sebagai pembina kerukunan dalam bidang keagamaan dalam bidang mana rakyat sebenarnya secara langsung berada di bawah wibawa tengku-tengku alias ulama-ulama “merdeka”.

Sebagai tangan kanan Pemerintah bisa dilihat kerja MU lebih lambat dan lebih kerap berhubungan dengan kepekaan dan sentimentalitas keagamaan rakyat dibanding tangan kanan lain yakni BPPA alias ADB, yang dengan sengaja dibentuk Pemda pada 1968 untuk memberi pertimbangan dan menyusun perencanaan pembangunan daerah berikut pembiayaannya.

Di bawah bayang-bayang BPPA dan MU itulah, berdiri dua perguruan tinggi sebagai pencetak kader yang selama itu belum sempat terfikir: Universitas Negeri Syah Kuala, 1962, dan IAIN Ar-Raniri, 1963. Keduaduanya, bersama satu-dua sekolah lanjutan, perumahan dosen dan sebuah pesantren luhur bernama Dayah Tengku Pante Kulu, berada dalam kompleks pelajar dan mahasiswa Darussalam di Banda Aceh. Dan sekarang, bagaimanakah gambaran problematik Aceh setelah di buka?

Dari MIN ke Lebai

Kebudayaan Aceh memang bukan kebudayaan sunat. Di samping prestasi Pemda, lewat BPPA yang dikenal energetik, satu-dua hasil materi MU misaInya koordinasi zakat untuk seluruh wilayah lewat pemerintah, yang dinyatakan bare berjalan 50%. Di samping itu gambaran sikap MU untuk beberapa hal aktuil bisa pula dilihat dari keputusannya yang menarik tentang kesenian.

Menjelang PKA-II, panitia khusus MU menyajikan satu bahan pertimbangan yang tidak mau mereka sebut Fatwa yang kesimpulannya antara lain: fungsi kesenian memang untuk kesenangan. Dalam memanfaatkan kesenangan itu, pria dan wanita berhak sama. Seni itu sendiri adalah sesuatu yang mubah (boleh-boleh saja), dan, bila ada sesuatu yang haram atau tak disukai maka itu bdkanlah zat seninya, tapi ekses yang mungkin timbul dari satu-dua jenis. Pada waktu-waktu tertentu, seperti saat hajat atau perayaan, hukum mubah itu bahkan bisa baik menjadi mustahab (didorong oleh agama).

Namun, apabila kegiatan kesenian di katakan bukan lagi merupakan problim, maka problim yang sangat besar antara lain masalah pendidikan. Hasil survey Unsyiah misalnya, dilangsungkan atas penugasan Bappenas bagi penyusunan rencana Pelita ke-II Daerah, mencantumkan masalah ini sebagai problim pertama yang mendesak dalam program jangka panjang.

Ini tidak hanya menyangkut masalah dualisme antara sistim MIN (Madrasah Islam Negeri) yang punya waktu belajar tujuh tahun dengan SD yang hanya membutuhkan enam tahun dengan perbedaan kurikulum masing-masing yang nantinya bisa menimbulkan jurang. Tapi lebih penting adalah kenyataan bahwa 5070 anak-anak di Aceh memasuki sekolah agama. Yang dikuatirkan sudah tentu bukan karena memasuki sekolah agama haram hukumnya.

Tapi karena masalah gagal sekolah (dropout) dalam saluran antara MIN dun (AIN jauh lebih mengerikan di banding antara SD dan Unsyiah. Antara SD dun Unsyiah masih terdapat banyak jurusan ragatn sekolah yang memungkinkan anak memilih. Tapi antara MIN dun IAIN harnpir tak ada apapun lebih-lebih bila akan diperhitungkan pula madrasah-madrasah diniyah yang sama sekali tidak memberikan pelajaran umum.

Maka mereka yang mengalami drop out dalam saluran ini akan tidak bisa menjadi lain kecuali lebai-lebai dan guru ngaji. “Itulah hal yang sangat gawat”, kata Majid Ibrahim.

Not For Muslim Only.

Akan tetapi masih ada masalah dasar yang mengundang perbedaan pendapat dalam kebijaksanaan pembukaan daerah yang dinyatakan terisolir itu. Dan inilah masalah sangat populer: sejauh mana pembukaan daerah dibolehkan mentolerir unsur-unsur yang dianggap akan menyentuh dun merusakkan kehidupan beragama.

Selama beberapa waktu terakhir ini, Aceh sudah merupakan satu negeri dengan gaya hidup yang tenteram. Orang-prang di masjid-masjid meng-aminkan doa sembahyang sang imam dengan cara yang lebih serempak, sabar dun syahdu, dibanding keadaan di masjid-masjid di Jawa yang panas dun riuh-rendah.

Hampir seluruh kota-kota di jalur timur (apalagi di bagian barat). mulai mengantuk dun berbenah, untuk tidur begitu prang selesai sembahyang isya. Beberapa perempuan dan gadis-gadis berjalan-jalan malam dengan celoteh yang riang tanpa diganggu sebab memang tidak terfikir di batok kepala sang pria yang liwat bahwa mereka perempuan nakal.

Suasana macam itu insya Allah di anggap ideal untuk orang yang salih. Tapi bagi mereka yang sudah terbiasa menghirup udara kota-kota nun metropolitan, baik salih maupun tidak, keadaan itu bisa menimbulkan rasa sumpeg, bak rumah tanpa jendela, tanpa variasi dun tunggal nada. Ia merupakan ciri-ciri gaya hidup statis dan terisolir. Sudah tentu, untuk merobah gaya hidup menjadi lebih dinamik, para Mama seperti yang terkumpul dalam MU akan setuju dan bahkan akan tidak merasa senang bila begitu saja dianggap tidak turut berusaha.

Namun contoh yang jelas mengenai konflik disekitar soal ini misalnya apa yang terjadi pada 1970 di Sabang. Sebuah pelabuhan bebas, menurut fikiran para tokoh, tentulah satu pelabuhan yang menyediakan semua fasilitas yang sesuai termasuk segala hiburan.

Dalam hal rasa Ir Ibrahim Abdullah Ketua KP4 BS yakni proyek pelabuhan bebas di sana, “kepada orang-orang yang menginginkan bangkai, sediakanlah bangkai agar jangan mereka memakai tubuh yang hidup sebab kehadiran mereka di Aceh jelas diperlukan”. (NB: harap faham; bangkai ini dari jenis betina). Namun bagi tokoh-tokoh agama soalnya tentu: bau bangkai itu tak tertahankan, selain bisa mendatangkan penyakit dan menyebabkan yang lain menjadi bangkai.

Maka terjadilah: wakil-wakil pimpinan agama bersama Majlis Ulama Kota Madya Sabang mengajukan protes. Dari kasino yang dibuka kecil-kecilan di pulau Kelah (anak P. Weh di mana Sabang berada) lama dibiairkan ada, hanya saja dipasang etiket: Not for Muslim only.

Falsafah Isolasi tiasymi

Maka berkatalah A.Hasymi, yang tentu saja sejalan dengan para ulama, tentang “falsafah isolasi”: “Kami akan bangga bila kami di Aceh disebut terisolir karena kami menolak judi, klab malam, mandi uap dan pijit-halus atau sebangsanya”.

Sudah tentu ucapan itu dikeluarkan sambil mengingat bahwa Aceh dari segi ekonomi memang harus dibuka. Masalahnya barangkali bagaimana caranya melalui ranjau-ranjau, meskipun dengan itu pembukaan ekonomis bisa dicap sebagai lebih sulit. Dan bila ranjau-ranjau ini tertanam dalam sikap keagamaan yang menurut Majid Ibrahim dibentuk oleh pendidikan yang indoktrinatif dun sempit, maka, seperti dikata kannya dalam Seminar Kebudayaan yang lalu, “diperlukan pengajian kembali ketentuan-ketentuan agama Islam, agar cara penganutan agama lebih rasionil”. Itu memang bukan tidak dikehendaki

Oleh tokoh-tokoh dari Majlis Ulama. Hanya saja belum bisa dijamin bahwa mereka akan 100% setuju dengan misalnya apa yang diucapkan Pejabat Walikota Banda Aceh T.Usman Jacoub (baca: Yakoub): bahwa “kemajuan masyarakat akibat ilmu dan teknologi merupakan air bah yang tidak dapat kita rintangi. Yang penting adalah bagaimana menganalisirnya”.

Sebab dengan itu Usman Jacoub, seperti banyak orang lain, bicara tentang segala fasilitas kesejahteraan seperti yang dianggap sepantasnya terdapat di sebuah kota yang maju juga tentang pariwisata, yang betapapun untuk daerah Aceh masih merupakan impian yang jauh.

Tapi mimpi atau bukan mimpi, selama stabilitas keamanan bisa diandalkan, daerah ini akan terbuka juga melalui pengembangan ekonomi. Bila sarana-sarana transportasi diperbaiki, bila modal asing deras masuk dan industri-industri didirikan, bila majalah-majalah dan korari-koran yang tentulah tidak bisa di kontrol isi maupun gambarnya dibaca orang di kota-kota kecil, bila satu-dua pusat kesenian didirikan seperti yang baru-baru ini direncanakan, dan bila rakyat sudah bisa menikmati acara-acara TV, tentulah gaya hidup akan makin lama makin berobah.

Alam yang menjadi semakin jauh dan sikap yang-menjadi semakin profan, memang bukan tidak menantang cara-cara interpretasi dan pemberian pendidikan agama, seperti di lakukan selama ini. Maka-orangpun berfikir tentang sebuah agama yang berbeda dengan keadaan di Eropa dan Amerika mampu hidup di tengah lingkungan yang lain, di tengah masyarakat yang beragama dan sibuk. Maka bila ada sesuatu yang harus dipertahankan dari nilai-nilai hidup rohani yang asasi itu, sudah siapkah semua kalangan di Aceh menjelang rnasa semacam itu, yang akan tiba dalam waktu dekat ataupun jauh? []

Comments

comments

Share This Article

  • Facebook
  • Google+
  • Twitter

Pencarian Model Dibubarkan; Polisi Panggil Pengelola Grand Hotel, Panitia Tak Mau Disalahkan

Next Story »

Arah Baru Pemikiran Ulama Pesantren di Aceh

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

ads

Warnet

hub kami

Nature

  • Foto: Tempo.co

    Peneliti : Terumbu Karang Sumatera Memutih

    7 days ago

    Koloni terumbu karang genus Acropora di perairan Pulau Sironjong Gadang, pesisir selatan Sumatera Barat, berwarna pucat. Sebagian besar terumbu karang bercabang banyak itu bahkan tampak putih sempurna. ...

    Read More
  • mangkuk-daun

    Bahan Ini Bisa Jadi Pengganti Styrofoam di Masa Depan

    3 weeks ago

    Styrofoam menjadi salah satu bahan yang sering digunakan sebagai pembungkus makanan. Penggunaannya dinilai praktis dan efisien sehingga banyak diminati. Namun, peningkatan penggunaan wadah berbahan styrofoam yang tak ...

    Read More
  • harimau-kamboja-punah

    Harimau Ini Akhirnya Dinyatakan Punah

    3 weeks ago

    Para aktivis konservasi Kamboja, Rabu (6/4/2016), untuk pertama kalinya menyatakan harimau di negeri itu telah punah. Hutan belantara Kamboja pernah menjadi rumah bagi harimau indochina, organisasi konservasi WWF ...

    Read More
  • Ilustrasi mobil nyetir sendiri | (Shutterstock).

    Mobil ‘Nyetir’ Sendiri Lebih Ramah Lingkungan

    3 weeks ago

    Zia Wadud terakhir belajar mengemudi tiga tahu yang lalu, Ia gagal di tes mengemudi pertamanya. Suatu saat ia berpikir, betapa mudahnya jika ia dapat mengendarai mobil setir ...

    Read More