MULUTNYA menganga menghadap ke laut lepas. Dari bibir pantai berpasir putih hanya berjarak 200 meter. Tersembunyi di balik pepohonan kaki bukit Gampong Meunasah Lhok, Mukim Glee Bruek, Lhong, Aceh Besar. Itulah Gua Ek Leuntie.
Dari sini bisa melihat dua pulau di tebing Gunung Geurutee seperti mengapung dan tertambat kokoh di atas laut. Sebelah utara, jalan besar Banda Aceh-Meulaboh membentang lurus memisahkan area ini dengan gugusan perbukitan puncak Krueng Teungoh.
Angin seperti berhenti berembus sampai ke pintu gua yang tingginya sampai 10 meter dan lebar lima meter itu. Kesejukan udara luar berganti kegerahan dan pengap. Di dinding gua, terlihat akiklud –lapisan bebatuan endapan (batu gamping) yang sifatnya kedap air, dan akifer (batu gamping yang sifatnya meluluskan air) menyatu membentuk ornamen unik.
Dua meter melangkah, suara deburan ombak seketika berganti ribuan kepak sayap ditingkahi cericit kelelawar yang berterbangan. Riuh sekali.
Banyak lubang di langit-langit gua, di sela-selanya menggantung stalaktit (bebatuan di langit-langit gua terbentuk dari tetesan air yang mengandung kalsit) seperti ingin jatuh ke dasar gua. Dari situlah ribuan kelelawar muncul.
Lantai gua laksana jamban besar tempat menampung kotoran kelawar, barangkali ini penyebab gua ini diberi nama Ek Leuntie (kotoran kelelawar). Beramoma mirip buah-buahan busuk menusuk hidung, ampas dari perut kelelawar itulah sumber pengetahuan yang digali Doktor Nazli Ismail, Ahli Geofisika Bumi Padat yang juga Ketua Program Studi MIPA Fisika Unsyiah Banda Aceh. Ini terpaut delapan tahun dari kunjungan Tim The Atjeh ke Gua Ek Leuntie.
Bersama Tim dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Nazli mengacak-acak perut gua. “Kami meneliti paleo seismic atau gempa kuno,” kata Nazli. Penelitian itu dilakukan setahun setelah bencana tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004.
Nazli menjelaskan di dalam gua itu ada tiga lapisan, yaitu tanah dasar gua, guano –kotoran kelelawar yang bercampur pasir dan memadat–, dan sedimen tsunami. “Di sini ada dua zat organik. Yaitu makanan kelelawar yaitu unsur organik guano, dan lapisan sedimen tsunami berupa cangkang-cangkang kerang yang masih utuh,” ujarnya.
Dua zat organik itulah yang kemudian diukur umurnya dengan menggunakan radio carbon dating. Hasilnya, bisa menjadi tolok ukur siklus tsunami yang pernah melanda Aceh. “Kami menduga tsunami di Aceh terjadi sekitar 500-an tahun periodic,” katanya.
Artinya sebelum tsunami 2004, peristiwa serupa juga pernah terjadi pada 500-an tahun yang lalu. “Itu yang giant tsunami, tsunami besar,” katanya.
Penelitian itu juga membuktikan adanya tsunami yang menenggelamkan Benteng Lubok di kawasan Lamreh. Di situs sejarah ini ditemukan lapisan tsunami abad 14 dan pertengahan abad 14. “Ini sangat berkaitan dengan runtuhnya Kerajaan Lamuri dan Kerajaan Samudera Pasai,” katanya. Lamuri adalah kerajaan hindu yang pernah berjaya di Aceh, sedangkan Kerajaan Samudera Pasai adalah kerajaan Islam yang pertama di Aceh.
***
LUAS area itu sekitar 50 x 20 meter. Berada di sisi kiri Jalan Kapai Kleng I, Gampong Doy, Ulee Kareng, Aceh Besar, ada tiga rumah di lahan ini. Kendati tak berwujud sawah, tempat ini dinamakan Omoeng Kapai Kleeng (sawah kapal keeling). “Dulu memang sawah,” kata Imum Mukim Simpang Tujoeh, HM Daud HS.
Dia menjelaskan, kawasan perkampungan Doy berawal dari hamparan sawah. “Di kawasan inilah, ditemukan serpihan kapal kuno yang diyakini milik orang India sehingga disebut Omoeng Kapai Kleeng,” katanya.
Menurut Daud, warga pernah menemukan potongan bagian depan perahu. Lokasinya terpaut sekitar 400 meter dari lokasi Umoeng Kapai Kleng dan masih berada di kawasan Gampong Doy.
Lokasi temuan perahu itu kini berwujud kubangan. Sampah plastik mengapung di atas air berwarna agak kehijau-hijauan. Berbentuk petakan sawah, ilalang dan rumput air menjalar penuhi keempat sisi kubangan.
Daud bercerita, lokasi itu pernah dijadikan tempat mengeruk tanah untuk diproduksi menjadi batu-bata. Saat itulah ditemukan potongan perahu; bagian depan. Selain itu, warga juga menemukan bongkahan balok dan kayu yang diyakini sebagai bagian kapal laut.
Bahkan pernah juga ditemukan lambung depan kapal laut. “Susuan kayu yang ditemukan masih utuh. Sebagian besar potongan-potongan kapal itu ditemukan di areal sawah warga,” kata Daud.
Tak hanya di Doy, warga juga menemukan serpihan kapal di Paya Daroy. Menurut cerita Geuchik Puni, Muslem, lokasi penemuan berada dalam wilayah administratif Gampong Leu Eu. Tepatnya di belakang kompleks asrama Ja Pakeh Kodam Iskandar Muda.
Warga gampong mereka-reka bahwa asal muasal pemukimannya itu semula laut. Namun, Teuku Abdullah, salah satu dosen Jurusan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala, menduga tempat itu bekas jejak tsunami di masa lalu. “Di masa lampau, tsunami memang terjadi di Aceh,” katanya.
Adalah buku Tarich Aceh dan Nusantara yang ditulis HM Zainuddin yang menjadi rujukan Abdullah. Dalam buku ini menggambarkan pergerakan garis pantai di Aceh.
Misalnya, sebelum abad-8 garis pantai di kawasan Aceh besar itu berada di kawasan Montasik –kini pemukiman penduduk– bukan di Ulee Lheue –pelabuhan.
Hubungan antara pergerakan garis pantai dan bencana tsunami juga diyakini kebenarannya oleh
Doktor Ella Mallinda, dosen Fakultas Teknik Universitas Syiahkuala. Pemikirannya tertuang dalam disertasinya yang berjudul “Past, Present and Future Morphological Development of a Tsunami Affected Coast; A Case Study of Banda Aceh.”
Ella menggarap disertasi untuk meraih gelar Ph.D dari University of Twente Belanda. Dosen di Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala ini mengawali penelitiannya di antara dua lempeng bumi, yaitu Indo Australia dan Asia. Ini lokasi daerah laut Andaman yang sangat dekat dengan Aceh.
Adalah peta Aceh rancangan colonial Belanda yang menjadi salah satu rujukan penting Ella. Dia menguliti peta itu untuk mempelajari pergerakan garis pantai di Banda Aceh dari 200 tahun lalu. Dia menemukan irama perubahannya segendang dengan gempa di wilayah Andaman.
Itulah sebabnya, kata Ella, garis pantai Aceh selalu berubah-ubah sejak 1847 hingga sekarang. “Ini artinya Aceh terletak di kawasan rentan gempa laut. Bahkan daerah ini sudah mengalami tsunami sejak ratusan tahun silam,” katanya.
Cerita tsunami kuno Aceh dikuatkan pendapat peneliti paleo tsunami Profesor Danny Hilman dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Dia bilang tsunami sudah terjadi di Aceh sejak 1200-an. Selain itu, pada seminar peluncuran buku Plato Tidak Bohong di Jakarta Pusat, pada Senin 20 Mei 2013, terungkap tsunami purba Aceh terjadi dalam siklus 200 tahunan juga sejak tahun 1.200.
Merujuk dari berbagai temuan jejak tsunami kuno di Aceh, maka masuk akal mengapa di Aceh ada karya sastra lama yang syairnya berkaitan dengan tsunami. Misalnya Smong dari Pulau Simeulue yang berisi nasihat bahaya seperti gempa, tsunami, petir dan kilat.
Simak saja salah satu penggalan syairnya, “smong dumek-dumek mo, linon uwak-uwak mo, ek laik kedang-kedang mo, kilek suluh-suluh mo.” Syair ini bisa diartikan yaitu air mandimu tsunami, ayunanmu gempa, gendang-gendangmu petir, dan penerangmu kilat. Kearifan lokal ini hidup di Simeulue hingga kini.
Tak hanya smong, soal tsunami ini juga terurai dalam hikayat Aceh. Bisa dilihat pada salah satu petikan syair dalam hikayat Gômtala Syah yang isinya menceritakan tentang kera sakti yang mampu menciptakan ie beuna.
Penyebutan ie beuna di hikayat ini mengartikan adanya fenomena alam berupa air laut yang menenggelamkan daratan. Disebutkannya air itu menyerupai dinding atau tembok hitam yang tinggi. “Bisa disimpulkan bahwa ie beuna yang dimaksud adalah tsunami,” kata sejarawan Teuku Abdullah.
Abdullah mengatakan istilah ie beuna sudah dipakai para penyair zaman kerajaan. “Itu menyiratkan cerita fenomena alam yang dahsyat sudah melanda Aceh sejak lama,” katanya. Dia kemudian mengutip penggalan syair yang dimaksud, “…Umu sibeuleun sabee meunan, tiwas insan bak ri rupa, hingga beungeh peutua Leman, jiteu puek tangan ji ek ie beuna…”
Ie beuna inilah yang menghantam Aceh pada 26 Desember 2004. Di sejumlah tempat, jejak tsunami masih tersimpan dengan baik hingga kini. Salah satunya di Punge Blang Cut, Banda Aceh, tempat terdamparnya kapal Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Apung.
Kapal seukuran lapangan bola ini sangat terawat, dan tetap berada di lokasinya yang sudah rapi dipagari. Di sebelah barat ada relief dari tembaga yang mengisahkan kapal berbobot 2600 ton yang diseret ie beuna sejauh lima kilometer dari bibir pantai Ulee Lheue, Banda Aceh.
Di tengah relief dibangun prasasti setinggi 2,5 meter, dilengkapi jam bundar menunjuk angka 07.55 yang tak lain adalah waktu musibah itu terjadi.
Menurut sejarah Kota Banda Aceh, kapal ini telah setahun berlabuh di Ulee Lheue sebelum bencana tsunami. Dia dibawa dari Pontianak guna membantu pasokan listrik di ibukota Provinsi Aceh.
Berjarak 300 meter sebelah barat Kapal Apung, ada dua kapal lain yang terseret tsunami. Satu di antaranya Kapal Patroli Lepas Pantai KN 28 milik Adpel Malahayati. Kapal seukuran lapangan tenis ini bersanding dengan KN 430 yang sedikit lebih kecil. Jejak bencana tsunami juga ada di Gampong Lampulo, Banda Aceh, yaitu kapal nelayan yang nyangkut di atap rumah penduduk.
Musibah tsunami mengakibatkan 226 ribu jiwa tewas. Tak hanya di Banda Aceh, ie beuna juga menghantam beberapa kabupaten di Aceh. Di antaranya Aceh Besar, Sabang, Aceh Jaya, Aceh Barat dan Simeulue.
Sembilan tahun berlalu. Kondisi pembangunan ulang usai bencana telah selesai dilakukan oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias. Kondisi psikis dan perekonomian warga beranjak normal.
Kendati demikian, Aceh tetap harus waspada seperti yang telah dinasihatkan dalam kearifan lokal Smong dan Hikayat Aceh. Sebab beberapa ahli sepakat bahwa tsunami belum berhenti. Walau belum bisa memberi gambaran yang terang tentang tsunami masa depan, mereka sudah membaca siklus tsunami masa lampau Aceh.
***
Gua Ek Leuntie tak hanya menyimpan jejak cerita tsunami, namun juga menyembulkan keindahan. Dari pancaran surya yang menembus ke dalam menyebar tujuh warna yang menyatu di beberapa elemen gua ini. Hijau, biru, hitam, coklat, putih, abu-abu, dan orange.
Sementara di sepanjang dinding sebelah kiri pintunya, ada sebuah garis memanjang yang memisahkan dua warna. Di atas garis warna dinding lebih terang, sementara warna gelap berada di bawahnya. Sepintas persis seperti bekas garis batas genangan air pada sebidang tembok.
Lima meter masuk ke dalam, saat lilin dinyalakan paduan warna ini melahirkan pemandangan yang menakjubkan. Serasa sedang berada dalam sebuah kapel alam dengan paduan pahatan di sekujur dinding dan langit-langit. Ada akiklud menyembul dari dinding depan, unik persis membentuk kanopi kecil atau payung yang meneduhi setumpuk stalakmit.
Rupanya, matahari hanya bertugas memberi sinar sampai ke kanopi itu saja. Pasalnya, cahaya sudah berakhir di kelokan ke arah kanan. Mengandalkan cahaya lilin dan penerang seadanya, pemandangan di sepanjang kelokan tetap saja memesona. Di sana-sini, stalakmit menyembul dari dasar gua terlihat seperti terciprat cat putih, kelabu, dan orange. Tapi orang kurang kerjaan manakah yang sengaja menciprat cat sampai ke gua nan gelap ini, kecuali muntahan ampas dari perut kelelawar.
Kian masuk ke dalam memang membuat tubuh makin gerah. Keringat telah membasahi tubuh, hidung serpeti tersengat aroma kotoran kelelawar sampai menembus ubun-ubun. Mata lelah bekerja untuk menembus kegelapan. Telinga berdengung oleh kepak sayap dan cericit kelelawar.
Saat keluar, sesampai di mulut gua, tumbuhan pakis masih seragam menunduk ke arah luar menjemput cahaya matahari. Angin sepoi menyemilir dari arah laut sedikit menyejukkan panasnya surya. Ombak pecah ritmis di pantai berpasir putih.
Hm, ombak ini jika membesar maka akan mengulangi kisah dalam syair-syair Aceh, seperti Smong dan Ie Beuna yang menyimpan jejaknya di dalam gua ini. | Majalah The Atjeh
Comments
comments
Leave a comment