SETELAH melewati jalan berbatu dan berlubang sejauh 2 kilometer, akhirnya sampai juga ke kebun mulieng di hulu sungai di Pucok Krueng, Lhoknga, Aceh Besar. Memasuki lahan, pandangan kami langsung tertuju pada sebatang pohon mulieng “raksasa”. Ukurannya cukup besar, tak dapat dipeluk dua orang dewasa.
Mulieng raksasa ini tampak mencolok dibandingkan pohon lainnya. Tinggi menjulang dipenuhi urat-urat kasar menonjol, mirip seperti batang akar menempel dan memeluk batang. Ruas-ruas yang melingkari tak lagi beraturan, mirip ruas pohon kelapa. Di pangkalnya terlihat ditumbuhi lumut. Sementara seluruh lapisan kulit terluarnya dipenuhi bercak-bercak putih–jamur–seperti panu. Rimbunan dedaunan hijau tua memayungi pohon, daun-daun muda di pucuk ranting ikut mewarnainya.
Di kebun itu tak hanya terdapat sebatang raksasa mulieng itu saja. Ada ratusan batang yang memenuhi lahan. Ukuran terkecil sebesar paha orang dewasa.
Cuaca agak mendung ketika kami tiba di kebun milik Mukhtar Yacob di Pucok Krueng itu awal November lalu. Kebun itu berjarak sekitar 16 kilometer dari Banda Aceh. Berada di kebun itu sangat menyenangkan. Hawanya sejuk karena berada di hulu sungai yang langsung berhadapan dengan dinding-dinding tebing curam. Di dasar tebing ada kolam air kehijauan, tampak serasi dengan warna di sekitarnya. Di atas tebing beberapa primata berlompatan dari satu dahan ke dahan lainnya.
Puas berkeliling kebun dan menikmati panorama di lokasi tersebut, kami menemui pemilik kebun di rumahnya.
Tak sulit mencari rumah pria sepuh yang biasa dipanggil Teungku Akob itu. Persis di belakang rumah Cut Nyak Dhien di Gampông Lampisang, Kecamatan Lhoknga.
Di kawasan Pucok Krueng, katanya, pohon mulieng sudah tumbuh sejak lama. “Kalau yang paling besar itu usianya mungkin lebih seratus tahun karena sejak saya lahir memang sudah ada di sana,” kata pria kelahiran 1936 itu.
Akob berkisah, ia mempelajari menanam mulieng dari menonton televisi di era 1980-an. Saat itu, kata Akob, sebagian orang kampung sedang menebang pohon mulieng. Mereka tergiur dengan kemilau cengkeh. Namun, Akob tetap konsisten dengan pohon mulieng-nya. Dia mengembangkannya dengan sistem sambung agar mudah membedakan antara mulieng jantan dan mulieng betina.
Mulieng betina akan berbuah dan menjadi bahan baku pembuatan emping, sedangkan mulieng jantan untuk dipetik daun dan bunganya saja. “Tiep uroe poh 6 beungoh ka lônjak u lampôh (setiap hari, pukul enam pagi, saya sudah berkebun),” katanya. Saat bercerita, tak jarang ia menjulurkan kepalanya lebih dekat ke arah kami. “Peugah beu rayek bacut, hana deuh nyoe (keraskan suaramu, saya tak bisa mendengarnya),” katanya sembari memegang telinga kirinya. “Oleh-oleh dari jameun konflik (oleh-oleh zaman konflik),” ujarnya berkelakar.
***
Mulieng, dalam bahasa Indonesia disebut melinjo (Gnetum gnemon L.). Ini tumbuhan berbiji terbuka (Gymnospermae). Bijinya terbungkus kulit aril yang berdaging. Kulit aril ini terasa pahit dan mempunyai warna seperti merah, kuning kemerah-merahan, atau jingga. Adapun daunnya berbentuk oval dan ujungnya tumpul. Dudukan daun berhadapan dengan tulang daun yang menyirip.
Hatta Sunanto dalam bukunya Budidaya Melinjo menuliskan, melinjo berasal dari Semenanjung Malaysia. Distribusinya membentang dari daerah Assam (India) sampai Kepulauan Fiji. Namun ada pendapat lain yang mengatakan, melinjo berasal dari Indonesia, yang dibawa pendatang dari Amboina ke Penang pada 1809, kemudian dibawa masuk kembali ke Indonesia.
Di Indonesia, tanaman ini tersebar di mana-mana, begitu juga di Aceh sehingga tak begitu sulit mencarinya. Namanya juga sangat beragam, di Aceh melinjo dikenal dengan nama mulieng. Nama-nama lain yang melekat pada tanaman ini adalah belinjo, mlinjo, maninjau, bagor, so, trangkil, dan tangkil sako. Dalam bahasa Melayu dan Tagalog disebut bago, dalam bahasa Kamboja disebut khalet.
Di Aceh pohon mulieng mudah ditemukan di daerah pesisir. Daerah yang menjadi sentra komoditas mulieng adalah Pidie dan Pidie Jaya.
Sekretaris Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Pidie, Fakruddin, menjelaskan penyebaran tanaman mulieng di Pidie meliputi Kecamatan Mutiara, Mutiara Timur, Sakti, Keumala, Pidie, dan Kecamatan Simpang Tiga. Pada 2012 produksi mulieng di Pidie mencapai 109.584 kilogram dengan jumlah pohon 249.662 batang. Tahun sebelumnya jumlah produksi hanya 99.073 dari jumlah pohon 224.642 batang. Rata-rata per batang jika sedang musim panen dapat mencapai 44 kilogram.
Musim panen biasanya terjadi pada Maret-April, Juni-Juli, dan September-Oktober. Khusus di Pidie, buah mulieng umumnya diproduksi menjadi emping atau keurupuk mulieng. Namun proses pengolahannya masih dilakukan secara tradisional oleh industri rumah tangga. Bahkan petani mulieng dari daerah lain, banyak yang menjual hasil panennya ke Pidie. Seperti yang dilakukan Teungku Akob. Saking terkenalnya, keureupuk mulieng kemudian ditabalkan sebagai julukan daerah tersebut.
Dalam bukunya, Hatta Sunanto menjabarkan manfaat mulieng yang multifungsi. Daun, bunga, dan buah mudanya dijadikan sebagai bahan baku sayuran, kulit batangnya dapat diolah menjadi tali untuk jala atau tali panjat, sedangkan kayunya dapat dimanfaatkan untuk bahan pembuatan kertas. Adapun untuk kebutuhan mebel kayu, mulieng kurang cocok karena tidak dapat bertahan lama.
Mulieng tergolong jenis tanaman yang mampu bertahan lama, usia hidupnya di atas 100 tahun dan tetap produktif. Bila tak pernah dipangkas, ketinggiannya dapat mencapai 25 meter dengan tajuk pohon berbentuk kerucut dan piramida. Pada seluruh bagian batang, cabang, dan ranting terdapat ruas bekas tempat tumbuh tangkai daun, ranting, dan cabang.
Tanaman ini dapat hidup di tanah liat/lempung, berpasir, dan berkapur, tetapi tidak tahan dengan kondisi tanah yang tergenang air dan berkadar asam tinggi. Di Indonesia, mulieng tumbuh di daerah pantai yang berhawa panas sampai di daerah pegunungan pada ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut.
Jika ada istilah melinjo betina dan jantan, dalam penelitian juga ditemukan adanya melinjo hermaphrodite atau berkelamin ganda, yaitu pada satu pohon terdapat bunga jantan dan bunga betina. Namun jumlah ini tidak banyak. Kondisi ini menyulitkan kita mengidentifikasi jenis kelaminnya karena perlu menunggu waktu sekitar 5-7 tahun. Berbeda jika dikembangkan secara vegetatif (cangkok) atau grafting (penyambungan, okulasi).
Jenis yang terdapat di Kabupaten Pidie tergolong dalam dua varietas, yaitu Mulieng Padé dan Mulieng Gajah. Keduanya telah mendapat sertifikat terdaftar di Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian di Kementerian Pertanian RI atas permohonan Bupati Pidie. Mulieng Gajah mendapat sertifikat pada 17 Desember 2012, sedangkan Mulieng Padé pada 18 Januari 2013.
***
Meski bukan tanaman khas, mulieng sangat istimewa bagi masyarakat Aceh. Kuliner khas Aceh Gulèe Pliek menggunakan bahan baku daun dan buah mulieng. Sayur ini sering dihidangkan di acara-acara khusus seperti pesta perkawinan dan kenduri lainnya. Gulè Pliek juga menjadi hidangan istimewa di warung-warung dan rumah makan. Selain itu kuliner khas Aceh Barat Gulè Jruek juga menggunakan daun dan buah muda tanaman ini. Begitu juga dengan kuliner khas Aceh Besar Ie Bu Peudah.
Lebih dari itu, mulieng telah menjadi penopang kehidupan sebagian kecil masyarakat Aceh. Teungku Akob salah satunya. Dari uang hasil penjualan daun dan buah melinjo itulah Teungku Akob menyekolahkan delapan anaknya, bahkan ada yang bergelar magister dari Universitas Gadjah Mada.
Setiap hari selepas subuh hingga petang, Teungku Akob selalu berada di kebunnya. Hasil panen daun mulieng ia jual ke Pasar Aceh. Kini di usianya yang telah senja, ia mengaku ingin menghabiskan waktunya untuk beribadah dan mengurus kebun mulieng-nya.
Hari hampir sempurna gelap. Suara-suara cacing tanah sudah terdengar sahut menyahut. Kami pun beranjak pulang. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah Teungku Akob, kami kembali teringat pada ucapannya, “Ureung laén mantӧng terlena ngen lawang, lôn bah ngen mulieng mantӧng,” katanya. | Majalah The Atjeh
Summary
Melinjo tak lain adalah bahan baku kerupuk yang disebut keurupuk mulieng dalam bahasa Aceh. Daun dan buahnya bagian dari Gulèe Pliek. Pernah dibabat saat cengkeh menjadi primadona, tetapi tetap eksis.
Comments
comments
Leave a comment