Daerah Aceh Tanoh Lon sayang
Nibak teumpat nyan lon udep matee
Tanoh kenuebah indatu moyang
Lampoh deungon blang luah beukon le
+++
Merasa tidak asing dengan bait lagu di atas? Itu merupakan penggalan dari lagu Tanoh Lon Sayang, lagu ini memang sangat terkenal dan telah menjadi lagu Wajib Daerah Aceh sejak 2007 lalu.
Selama ini lagu itu dipercaya merupakan ciptaan komponis Teuku Djohan dan Anzib Lamnyong. Keduanya memang banyak berkolaborasi dalam menghasilkan sejumlah lagu-lagu daerah Aceh. Tidak banyak informasi yang menjelaskan siapa itu Teuku Djohan, selain bahwa ia adalah seorang Maestro musik Aceh. Namun ada juga kabar yang mengatakan bahwa Teuku Djohan yang dimaksud tak lain adalah Mayjen Teuku Djohan yang pernah menjadi wakil Gubernur Aceh.
Gabungan Musisi Aceh, dalam sebuah ulasan yang dipublikasikan di situs resminya www.acehmusician.org pada Mei lalu meyakini bahwa Tanoh Lon Sayang merupakan ciptaan Anzib Lamnyong dengan judul asli Aceh Lon Sayang.
Semasa hidupnya Anzib Lamnyong menciptakan hingga ratusan judul lagu yang terbagi dalam tiga kategori yaitu Irama Daerah Atjeh (1916-1967), Buhu Atjeh (1950-an) dan Irama Atjeh Baroe (sejak 1964). Lagu Aceh Lon Sayang termasuk lagu-lagu yang diciptakannya pada masa IDA, dibuat tahun 1955 dan diberi nomor 50. Kemungkinan lain, menurut GMA keduanya berkolaborasi kembali setelah buku itu diterbitkan, sehingga T Djohan dianggap bagian dari pengarang lagu itu.
Selain sebagai seorang Maestro musik Aceh, Anzib Lamnyong yang memiliki nama asli Abdul Aziz ini dikenal juga sebagai sastrawan. Ia lahir di Silang kampung Rukoh pada tahun 1892, bertepatan dengan kedatangan C. Snouck Hurgronje ke Aceh. Pada tahun 1912 ia menyelesaikan Sekolah Guru, sejak itu ia menjadi guru di beberapa Sekolah Rakyat dan pensiun pada tahun 1957.
Sejak tahun 1927 Anzib mulai menulis cerita pendek dan dimuat di berbagai surat kabar terbitan Medan. Hal ini disebut-sebut sebagai titik tolak kreatifitasnya yang pertama, kelak membuatnya terus berkecimpung di bidang ini. Mulai tahun 1916 ia telah mengumpulkan karya sastra dan budaya Aceh sebagai wujud kecintaannya di bidang bahasa dan sastra. Hal ini tak terlepas dari pengalaman yang terjadi semasa ia belajar di Sekolah Guru. Ia pernah dikatakan bukan sebagai ‘anak Aceh’ lantaran salah menuliskan kosa kata yang ditugaskan oleh gurunya Muhammad Djam.
Semasa hidupnya Anzib pernah memberikan kursus bahasa Aceh pada opsir-opsir Belanda. Sementara karir seninya mulai dibangun sejak ia belajar bermain biola pada tahun 1914-1916. Karena kepiawaiannya itu, ia menjadi violis dalam muziek-vereeniging Aceh Band, yang dipimpin oleh ABC Theuvenet tersebut. Ini berlangsung dari tahun 1917 sampai 1920. Setelah itu ia menjadi violis di Deli Bioskop Kutaraja pimpinan Zainal Abidin dari Minangkabau. Ia juga pernah bergabung dengan Muziek-vereeniging De Endracht pimpinan Kamby (dari Menado). Tak puas dengan itu, pada 1922- 1926 ia mendirikan grup musik sendiri yang diberi nama laasmuziek di Lamnyong. Sesudah itu hampir seperempat abad lamanya ia vakum dalam dunia musik, baru pada tahun 1955-1959 Anzib kembali bermusik.
Bersama rekannya T. Johan pada tahun 1951 mereka mulai mengarang buku nyanyian anak-anak yang berjudul Lagu Kita dan diterbitkan Balai Pustaka Jakarta pada 1952. Anzib juga pernah memenangkan beberapa sayembara menciptakan lagu-lagu daerah. Setelah kembali bermusik pada tahun 1955 ia menjadi violis orkes daerah Indahan Seulawah pimpian D.A Manua bekas teleponis dari Menado) dan memainkan lagu-lagu daerah yang disiarkan melalui RRI Kutaraja.
Lagu-lagu yang sempat populer waktu itu di antarnya Atjeh Loon Sayang, Nanggroe Atjeh, Bungong, Sulthan. Iskandar Muda, Gunongan, Prang Atjeh dan sebagainya yang merupakan karangan Anzib dan kawan-kawan. Dari catatan harian Anzib, menyebutkan banyak biduan yang tidak tetap, ada yang berhenti, ada yang pindah ke orkes lain, dan ada yang masuk kembali, sehingga sangat menyulitkan pelatihnya.
Tahun 1959 grup ini harus bubar akibat perbedaan pendapat antara DA Manua dan Anzib. DA Manua menginginkan segi-segi hiburan lebih ditingkatkan dengan tidak semata-mata membawakan lagu-lagu daerah. Perselisihan itu terlukis dari beberapa catatan harian Anzib. “DA. Manua kurang mengetahui bahwa di daerah Aceh juga mempunyai lagu-lagu sendiri yang khas,” tulis Anzib dalam catatan hariannya tahun 1961.
Tahun 1974 ia memperoleh Piagam Penghargaan dari Gubernur Aceh atas jasa dan karyanya di bidang bahasa dan pendidikan. Anzim Lamnyong meninggal dunia pada usia 84 tahun di Banda Aceh pada 1976 silam. [Sumber: UU. Hamidy, ANZIB LAMNYONG: GUDANG KARYA SASTRA ACEH, terbitan Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Aceh Darussalam, Banda Aceh, 1974]
Comments
comments
Leave a comment