LAIN Surabaya lain landa Aceh. Kalau orang-orang pers di Surabaya jadi naik pitam dan memekikkan perang terhadap koran Jakarta yang mereka tuduh ekspansionis, maka kuli tinta di Serambi Mekkah justeru memerangi Percetakan Negara–satu-satunya percetakan yang terdapat di daerah itu. Mereka menganggap percetakan itulah yang menjadi biang keladi mengapa koran daerah tak kuasa bersaing terhadap koran-koran yang mengalir dari Medan dan Jakarta. Kondisi percetakan tersebut sudah ketinggalan zaman dan koran yang bisa dicetak di situ cuma berukuran 55 x 75 Cm yang berarti lebih tebal sedikit dari satu halaman koran mutaakhir.
“Mesin celaknya sudah pantas masuk museum. Hasilnya centang prenang. Pembaca di daerah Aceh sendiri tak suka membacanya”, keluh Jusuf Ubit dari Angkatan Bersendjata kepada Menteri Penerangan Budiardjo, ketika pejabat ini berkunjung ke Pekan Kebudayaan Aceh beberapa waktu berselang.
Tentang percetakan itu sendiri Budiarjo tak sempat melihat dengan mata kepala sendiri, sedangkan orang-orang pers setempat tak sudi lagi menginjakkan kaki kesana. Sejak beberapa waktu yang lalu mereka menghentikan penerbitan sebagai protes terhadap kebijaksanaan pimpinan percetakan yang telah menaikkan ongkos cetak dari Rp 7.500 menjadi Rp 12.500 per 3.000 eksemplar. Agaknya mereka tidak terlalu keberatan terhadap kenaikan tarif tadi. “Soalnya kan harus seimbang. Kalau ongkos naik maka hasil cetakannya harus diperbaiki”, sebagaimana dikatakan Nourhalidy dari Mimbar Swadaya kepada koresponden Zakaria M Passe.
Untuk beberapa waktu lamanya Aceh hidup tanpa koran swasta dari daerahnya sendiri. Yang masih bertahan di percetakan itu tinggal Duta Pantjatjita milik pemerintah daerah dan Angkatan Bersendjata. Sedangkan tarif baru dari percetakan itu tak bisa ditawar-tawar lagi, karena sudah begitu instruksi dari pusat. Karena percetakan negara tersebut merupakan satu satunya percetakan disana, maka para penerbit koran adi terpaksa mencari percetakan di Medan Atjeh Post, Mimbar Swadaya, Berdjuang, Taufan dan Warisan Baru kini sudah hijrah kepercetakan yang jauhnya lebih kurang 500 km dari induk semangnya yang lama.
Ketika bertemu muka dengan wartawan-wartawan di Banda Aceh Budiarjo lumayan juga kenyangnya menelan keluhan-keluhan “Oplahnya 1.500 eksemplar Namanya saja Angkatan Bersendjata tapi tak pernah mendapat subsidi dari yang mengendalikan” keluh Jusuf Urbit dari koran Angkatan Belsenjata “Ongkos cetak tetap kami bayar sekalipun beras untuk anak bini belum kami beli” sambungnya pula berhiba-hiba.
Tetapi Budiarjo tidak menjanjikan apa-apa Malahan dia menyindir orang-orang pers didaerah. Menurut dia pokok pangkal mengapa pers daerah tak bisa maju bukan lantaran percetakan yang sudah rongsok. “Tetapi pada cara memasak koran itu. Buat apa percetakan yang baik kalau berita-beritanya tidak baik?” Tak seorangpun diantara wartawan yang mengerumuninya bangkit dari duduk untuk membantah ucapan tersebut. Mungkin untuk tidak mengecilkan hati katanya pula.
“Tetapi pers daerah bukan pers kelas dua. Namun kalau dihubungkan dengan percetakan bukan berarti pemerintah akan mendrop percetakan. Perusahaan negara saat ini harus benar-benar menjadi sebuah perusahaan. Kalau tidak menguntungkan tutup saja. Kita harus realistis dong!”.
Kalau logika Budiarjo ini diturutkan maka Percetakan Negara Banda Aceh itu akan gulung tikar. Sebab menurut pengakuan Direkturnya sendiri. Abubakar Adamy kepada Budiarjo, dengan kenaikan ongkos cetak yang ditimpakan kepada koran-koran tadi, ternyata percetakan itu masih tekor.
Kepada wartawan-wartawan di Aceh untuk kesekian kalinya Budiarjo menganjurkan agar perusahaan pers yang tak kuat modalnya supaya bergabung saja. “Dengan demikian perusahaan lebih kuat dan karyawannya lebih selektif”. Tetapi siapakah yang mau merintis anjuran itu sebab sampai saat ini orang-orang masih berbalapan untuk menerbitkan koran atau majalah baru. []
Comments
comments
Leave a comment