Hari masih pagi. Seberkas cahaya lembayung mulai mengintip menyibak kabut di punggung Lut Tawar, Aceh Tengah. Pantulan sinarnya laksana kristal berkerlap-kerlip di dalam air. Aduhai indahnya.
Angin berembus perlahan. Menyapu lembut menggelitik kulit. Nafas berasap seperti mengisap rokok. Pertanda dingin yang menjadi ciri khas di daerah ini. Burung Nggang pun masih menghangatkan tubuhnya di dalam sarang di rerimbunan rimba tepi danau. Tak ada kecipak air tingkah ikan depik dan pedeh.
Di tepi danau itu, pagi berdenyut seiring aktivitas nelayan, juga para pegawai Hotel Renggali, sebuah hotel yang dibangun tepat di pinggir danau. Sepagi itu, kios-kios kecil yang menjajakan kuliner khas Lut Tawar masih tertutup.
Berjarak 50 meter dari tepi Lut Tawar, seorang lelaki melangkah menuju kumpulan perahu yang tertambat di tepi danau. Jaket tebal yang dipadu celana plastik biru membungkus tubuhnya. Kakinya berbalut sepatu bot hampir setinggi lutut.
Dilepaskannya tali pengikat perahu dan bergegas naik ke atasnya. Cekatan dia menghidupkan mesin, lalu bergerak ke tengah danau. “Ulak kahe engkip doran isien win (nanti perahu akan penuh jaring ikan yang harus dibawa pulang,” kata pria itu berbahasa Gayo kepada majalah The Atjeh.
Pria itu bernama Mahyudin. Dia adalah warga Desa Mendale, Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah. Di lingkungan rumahnya dia kerap disapa Pak Din. Ia sama dengan sebagian besar warga di sana yang menggantungkan hidup dari kekayaan alam yang terkandung di danau Lut Tawar. Sehari-hari Pak Din mencari ikan di danau itu.
Dari kejauhan Pak Din tampak sigap sendirian mengambil doran (jaring ikan) yang ia rentangkan di danau itu. Satu persatu doran diletakkannya di atas perahu. Keseluruhan ada 18 doran yang harus diambilnya. Panjang satu doran, kata Pak Din, mencapai 15 sampai 20 meter. “Ini khusus doran untuk depik”, kata Pak Din.
Doran-doran ikan depik itu direntangkan Pak Din di tengah danau pada hari sebelumnya. Selama kurang lebih 30 menit berada ditengah danau. Pak Din telah menyelesaikan pekerjaannya mengambil keseluruhan doran yang dia pasang untuk menjerat sebanyak mungkin ikan depik.
Akhirnya Pak Din mengarahkan perahunya untuk pulang. Isterinya sudah menunggu di pinggir danau. Mereka biasa melakukan pekerjaan akhir bersama-sama: mengambil ikan-ikan depik yang tersangkut di doran. Seorang anak lelaki Pak Din juga membantu pekerjaan itu. Ikan depik inilah yang menghidupkan keluarga Pak Din.
***
Aktivitas seperti Pak Din ini menjadi salah satu ciri khas di tepian danau Lut Tawar. Ikan Depik juga menjadi menu kuliner khas bagi wisatawan yang berkunjung ke sini. Danau Lut Tawar memiliki panorama alam yang indah. Kawasan ini juga memiliki sejumlah objek wisata menarik. Di sekelilingnya terdapat 4 kecamatan yang terletak persis di tepi danau. Yaitu kecamatan Bintang, Kebayakan, Bebesen dan Kecamatan Lut Tawar.
Di antara objek wisata yang ada di seputaran danau seperti agro wisata Ujung Paking yang terletak di kawasan Kampung Kelitu, Kecamatan Bintang. Di atas tanah seluas 3 hektar wisata Ujung Paking menawarkan kenyamanan tempat bagi pengunjung untuk menikmati keindahan panorama danau. Ada pemandian di pinggir danau.
Di seputaran Lut Tawar sangat kaya dengan tempat melancong. Ketika para pekerja asing masih menyemut usai tsunami Desember 2004, Lut Tawar menjadi salah satu tempat pilihan untuk melepas lelah. “Airnya tenang, pemandangannya teduh dan bikin betah,” kata Lyndall, seorang pekerja kemanusiaan asal Australia yang pernah jatuh hati pada keindahan Lut Tawar.
Di sana juga terdapat air terjun Mengaya di Kampung Mengaya, Kecamatan Bintang. Ada juga objek wisata yang menawarkan cerita legenda seperti Goa Loyang Koro di Kampung Toweren Toa.
Goa ini menyimpan cerita masyarakatnya pada abad ke 18. Konon, goa ini pernah menjadi jalan penghubung antara goa di Kampung Toweren Uken dengan goa Loyang Kaming di Kampung Isaq Kecamatan Linge. Digunakan masyarakatnya sebagai jalur membawa ternak kerbau antar kampung.
Pada zaman kolonial Belanda goa Loyang Koro dijadikan sebagai markas oleh kelompok masyarakat Gayo dalam menentang kehadiran Belanda.
Objek wisata lainnya yang menawarkan legenda adalah Goa Puteri Pukes. Di dalam goa itu ada sebongkah batu berbentuk wujud manusia. Konon, batu itulah yang diyakini oleh masyarakatnya sebagai Puteri Pukes. Dari cerita masyarakat di sana, Puteri Pukes adalah seorang pengantin yang berubah menjadi batu karena melanggar pesan dari orangtuanya.
Bagi pelancong yang mencari penginapan di seputaran danau Lut Tawar, hanya ada satu pilihan yaitu Hotel Renggali. Terletak di kawasan Kampung One-one. Hotel ini memiliki 16 kamar tipe standart seharga Rp.300 ribu untuk satu hari satu malam. Tipe Deluxe ada 12 kamar dan harganya Rp.400 ribu. Dan ada 6 kamar tipe Suite seharga Rp.600 ribu.
Jika hendak berpergian ke kawasan danau, para pelancong bisa menggunakan kendaraan pribadi. Hanya ada bus umum tujuan Kecamatan Bintang di jalur danau Lut Tawar. Dan biasanya hanya digunakan oleh masyarakat sekitar. Bus umum itu tidak populer sebagai kendaraan wisata karena hanya beroperasi pada jam-jam tertentu.
Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Aceh Tengah, Nasiruddin SK, mengatakan belum banyak objek wisata danau yang dikelola profesional. “Mayoritas objek wisata di sana, masih mengandalkan panorama alam danau dengan keadaan tempat wisata yang masih alami,” katanya.
Untuk menarik wisatawan, Nasiruddin mengatakan pada tahun ini telah menggelar Festival Danau Lut Tawar. “Banyak sudah item budaya yang kita gelar dalam festival danau Lut Tawar”, kata Nasiruddin.
Lut Tawar memang tak hanya sekedar tentang keindahan, tetapi juga merekam jejak dan budaya warga di sekitarnya. | Majalah The Atjeh
Comments
comments
Leave a comment