Kita sering mendengar kata “advokasi”, terutama mereka yang aktif dalam dunia Lembaga Swadaya Masyarakat pasti kalimat ini sudah sangat akrab. Namun tidak semua orang bisa memahaminya dengan baik. Bila kita cari dalam literatur ada berbagai definisi advokasi. Namun bagi saya definisi yang paling sederhana adalah “advokasi merupakan sebuah gerakan untuk merubah kebijakan”. Gerakan ini bisa berupa apa saja, misalnya melalui diskusi, pertemuan, demonstrasi bahkan juga dengan tulisan.
Advokasi juga merupakan sebuah gerakan yang sulit mengukur keberhasilannya. Seorang teman pernah mengatakan kalau advokasi itu merupakan gerakan yang “tak berujung pangkal”. Kenapa demikian? Ya karena gerakan ini biasanya melibatkan banyak pihak (stakeholder) dan tak jarang gerakannya tak pernah berakhir. Sepanjang tujuan akhir belum tercapai maka gerakan ini terus dilaksanakan. Media memiliki peran sendiri dalam gerakan advokasi.
Media berperan dalam advokasi sebagai pembawa pesan. Media menyampaikan pesan dari pihak-pihak yang melakukan advokasi. Para pihak yang terlibat dalam advokasi membutuhkan media sebagai sarana untuk menyebarkan informasi dan memperoleh dukungan dari publik. Advokasi akan semakin mudah terlaksana jika didukung oleh partisipasi masyarakat. Selain itu media juga memberikan edukasi kepada pembacanya tentang isu-isu tertentu. Begitu juga halnya dengan isu lingkungan. Disini media memiliki peran yang sangat signifikan.
Beberapa tahun belakangan ini muncul genre baru dalam dunia jurnalistik yaitu jurnalisme lingkungan. Sebelumnya ada jurnalisme sastrawi, jurnalisme damai dan sebagainya. Jurnalisme lingkungan dapat disebutkan sebagai kegiatan jurnalistik yangmengulas informasi dengan pandangan (angle) lingkungan. Definisi baku diberikan oleh Ketua Society of Indonesian Environment Journalist (SIEJ), IGG Maha Adi sebagai berikut.”Jurnalistik Lingkungan adalah kegiatan pemberitaan (mengumpulkan, memproses dan menerbitkan informasi yang bernilai berita) masalah-masalah seputar lingkungan hidup”.
Di Malaysia malah ada kampus yang membuka jurusan Jurnalistik Lingkungan, salah seorang alumninya adalah mahasiswa asal Aceh. Tak ada salahnya dengan memfokuskan diri pada isu tertentu. Selain memiliki skil jurnalistik, seorang juga wajib memiliki pengetahuan lingkungan yang baik. Hal ini membuat karya jurnalistiknya berkualitas baik dan menjadi rujukan bagi para pembacanya. Saya bisa menyebutkan salah seorang penulis buku, yang mempunyai latar belakang keilmuan di bidang lingkungan dan mampu menulis dengan baik. Dia adalah Rachel Carson, asal Amerika Serikat yang mengarang buku berjudul “The Silent Spring”.
Rachel Carson, berasal dari Pensylvania, AS, seorang ahli lingkungan kelautan serta sastrawan yang menerbitkan buku ini tahun 1962. Buku ini sangat heboh dimasa tersebut, memicu gerakan lingkungan di AS, sampai-sampai Amerika membentuk badan perlindungan lingkungan yang bernama Environmental Protection Agency (EPA). Saat itu belum ada negara yang memberi perhatian khusus pada soal-soal lingkungan. Buku ini sendiri yang masih dikenang dan menjadi rujukan sampai saat ini, merupakan kumpulan artikel lingkungan yang ditulis Rachel. Ia bercerita tentang dampak yang mengerikan dari pestisida yang sedang booming. Dampak negatif tersebut antara lain musnahnya burung birdsong, ikan-ikan spesies tertentu menghilang, manusia terkena penyakit yang belum pernah ada sebelumnya, daun-daun layu dan sebagainya. Musim semi tak lagi indah, kini sunyi sepi tak ada lagi burung yang bernyanyi, demikian kira-kira tulisnya. Jurnalis idealnya harus mampu juga seperti ini.
Pengetahuan yang baik tentang lingkungan dalam jurnalistik akan memberikan edukasi yang baik pula bagi masyarakat. Ada banyak istilah dan definisi dalam lingkungan yang jika salah makna akan salah pengertian pula. Misalnya saja dalam mengartikan hutan. Pandangan orang awam hutan adalah kumpulan pohon-pohon, itu saja. Padahal ada banyak pengertian hutan, seperti UU RI no.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 1 yang menyebutkan Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Definisi lebih konkrit lagi diberikan oleh badan pangan dunia FAO tahun 2010 yaitu hutan adalah lahan yang luasnya lebih dari 0,5 hektar dengan pepohonan yang tingginya lebih dari 5 meter dan tutupan tajuk lebih dari 10 persen. Tidak termasuk lahan yang sebagian besar digunakan untuk pertanian atau permukiman. Pengertian ini bagi sebagian aktifis lingkungan menjadi lucu. Karena kalau mengacu definisi ini maka kebun sawit, kebut karet dan kebun-kebun lainnya dapat disebut hutan juga. Padahal kebun-kebun ini telah “menghabisi” sebagian besar hutan primer Indonesia. Jadi pengertian hutan dikembalikan kepada masing-masing pihak secara arif.
Menulis tentang lingkungan berarti menulis segala sesuatu yang ada di sekitar kita. Air, udara dan tanah merupakan komponen utama lingkungan. Dari ketiganya dapat diturunkan lagi menjadi berbagai isu yang tak kan habis kalau kita mau menulisnya. Dari air kita bisa menulis kualitas air, manfaatnya bagi makhluk hidup, pencemaran air, makhluk yang hidup di air dan sebagainya. Terlebih kalau kita mau menulis tentang isu-isu yang sedang trend di masyarakat seperti isu hutan. Ada banyak hal yang bisa diangkat menjadi tulisan lingkungan.
Jurnalis bisa menulis tentang manusia dan hutan (human story), termasuk didalamnya masyarakat adat, suku-suku terasing, pawang hutan, asal mula pemukiman dalam hutan dan sebagainya. Jurnalis bisa menulis tentang satwa-satwa liar yang tinggal dalam hutan dari berbagai perspektif. Yang paling populer selama ini adalah perdagangan satwa liar terutama hewan langka seperti Orangutan, harimau, badak, gajah dan lain-lain. Namun bisa juga menulis tentang karakter hewan, cara hewan berkembang biak dan sebagainya. Bisa juga menulis tentang hasil hutan non kayu yang dicari masyarakat seperti madu, rotan, walet dan banyak lagi.
Ada satu topik yang masih sangat jarang diangkat menjadi laporan oleh jurnalis kita yaitu hasil riset lingkungan. Padahal ada banyak sekali hasil riset yang bisa naik menjadi tulisan dan diminati masyarakat. Jurnalis bisa menulis tentang hasil riset Indeks Tata Kelola Hutan Indonesia, Penelitian tentang Hutan Gambut Rawa Tripa yang pernah diteliti oleh tim dari Universitas Syiah Kuala dan sebagainya. Hasil riset bisa jadi merupakan laporan paling sahih karena telah melalui metode penelitian yang baku dan dikerjakan oleh sekumpulan ahli di bidangnya. Ada banyak sekali lembaga penelitian yang mengkhususkan diri pada riset-riset lingkungan.
Jurnalis lingkungan harus mencari nara sumber yang tepat untuk memperoleh informasi. Selama ini saya banyak melihat sejumlah laporan ditulis bukan dari nara sumber kompeten namun lebih kepada opini seseorang atas suatu isu. Misalnya saja yang diminta pendapat adalah politisi, tokoh LSM setempat, ataupun akademisi yang jauh dari lokasi kejadian. Ini sangat tidak baik karena memberikan informasi yang bisa saja tampak “betul” tapi sebenarnya menyesatkan.
Satu tantangan bagi jurnalis lingkungan adalah media mainstream tempatnya bekerja tidak mau memuat laporannya dengan berbagai alasan. Jangan menyerah, sekarang banyak media alternatif untuk memuat tulisan anda. Atau jika anda sempat, buat saja blog untuk menampung tulisan-tulisan lingkungan yang tak dimuat di media tempat anda bekerja. Atau kirim saja ke media online lingkungan yang cukup banyak terdapat di internet. Kalau media asing sudah pasti syaratnya laporan dalam bahasa Inggris.
Saatnya jurnalis berperan lebih kuat lagi dalam mengadvokasi lingkungan. Masalah lingkungan bukan cuma buat LSM atau aktivis lingkungan semata. Ini adalah persoalan semua. Jangan tunggu sampai air, tanah dan udara harus kita beli.
Tulisan ini disarikan dari presentasi yang disampaikan pada acara Training Jurnalistik Lingkungan, tanggal 26 Februari 2016 di Banda Aceh.
Comments
comments
Leave a comment